32. Pergi

280 42 11
                                    

Embusan angin sore terasa hangat. Aku duduk di atas hamparan pasir putih. Kaki ditekuk, menyilang. Kedua lenganku melingkari lutut. Aku sedikit mengangkat kepala. Langit merah menyedot perhatianku. Senja nan indah jadi teman kencanku. Tersenyum lembut saat aku datang. Menyempatkan diri bertemu denganku sebelum ditelan petang kelam. Riuh debur ombak membentur karang, desau angin menyibak rambut dan wajah penuh keringat. Ombak menjilati ujung kakiku. Terasa geli. Aku menikmati sore ini.

"Nuc, lama nunggunya?"

Aku menoleh, tersenyum lembut. Kembali menatap langit. Tidak menghiraukannya.

"Dulu, kita sering ke pantai. Bahkan jadian juga di pantai."

Aku diam. Gadis itu duduk di sebelahku.

"Kau masih sama. Tenang. Membuatku bingung menyelami apa yang kau pikirkan, Arnawarma."

Aku menoleh, menatapnya yang tersenyum manis. Mata itu, aku sangat menyukainya. Tanganku perlahan terulur. Hendak menyentuh wajah yang dihiasi lesung pipi cantik.

Plash!

Ombak laut membasahi kaki dan celanaku. Lambat laun sosok gadis itu kabur, hilang dibawa angin laut. Aku tersentak. Tanganku mengepal kuat. Rahangku mengeras. Membuang muka. Menggenggam pasir, melemparnya asal.

"Bodoh!" umpatku pada diriku sendiri.

*****

Tok tok tok!

Aku mengetuk pintu. Lantas membukanya perlahan. Melangkah masuk. Pak Teguh tersenyum menyambutku. Berdiri menghampiri, menjabat tanganku, menepuk pundakku beberapa kali. Kami berdua duduk. Aku meletakkan helm proyek berwarna putih di atas meja. Sudah sebulan aku menerima tawaran Pak Teguh bekerja dengannya.

"Bagaimana, Nuca? Kau betah?"

"Betah, Pak. Lebih tenang di sini."

Pak Teguh tertawa. Mengangguk beberapa kali. Mafhum dengan situasiku.

"Ada keperluan apa? Tumben menemui Bapak sepagi ini."

Aku tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya ingin menyampaikan ini." Aku merogoh saku celana, meletakkan lipatan kertas usang di meja, mendorongnya ke arah Pak Teguh.

Pak Teguh mengerutkan dahi, tersentak. Melihatku dan kertas itu bergantian. Wajah Pak Teguh sedikit berbeda, tidak tenang seperti biasanya.

"Ini ..., bagaimana bisa?!" Suara Pak Teguh bergetar hebat.

"Dulu, surat itu saya temukan di perpustakaan saat saya masih kuliah. Maaf, saya lancang membacanya, bahkan menyimpannya hingga hari ini."

"Tak apa, Nuca. Lagi pula surat ini sudah lama sekali. Bapak kira tidak akan pernah melihatnya lagi." Tangan Pak Teguh gemetar, menyentuh surat itu. Mengusapnya perlahan.

"Tunggu, bagaimana kau tahu surat ini milik Bapak?" Pak Teguh menatapku penasaran.

Aku tersenyum. " Bapak ingat tidak? Saat Bapak mengajak saya berziarah ke makam keluarga Bapak saat itu. Saya membaca tiga nama yang terprasasti di batu nisan. Ageng Sosrodiningrat, Darminah Sosrodiningrat dan nama terakhir yang menarik perhatian saya, Ajeng Puspita Sosrodiningrat. Saya merasa tidak asing. Lantas saya ingat nama perempuan di surat ini, Puspita. Itu awalnya. Tapi saat itu saya belum yakin jika surat ini milik Bapak. Hingga saya dipindahkan ke perusahaan ini, saya baru melihat nama lengkap Bapak, Teguh D Pramudya. D untuk Damar, nama tengah Bapak.

"Ya, Damar nama pemuda di surat itu. Lantas saya ingat cerita Bapak tentang Bijak dan Kembang. Jika ditarik garis ceritanya, ada kemiripan dengan Puspita dan Damar. Lalu saya hubungkan dengan nama kedua tokoh yang Bapak ciptakan. Kembang atau bunga merupakan arti dari Puspita, Bijak adalah arti dari Pramudya. Dari situlah saya yakin, surat ini milik Bapak. Kisah Kembang dan Bijak bukan kisah karib Bapak, melainkan kisah Bapak sendiri. Analisis saya tidak keliru, kan, Pak?"

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang