5. Kencan

471 80 14
                                    

Hari itu aku menemani ayu hingga sore. Mungkin sekitar dua jam aku bersamanya. Demamnya mulai turun. Dia sudah kuat untuk duduk. Mampu sunggingkan senyum, meski matanya terlihat sayu. Seperti biasa, dia berceloteh banyak sekali. Membiarkanku menjadi pendengar, tak masalah. Ayu tahu aku menyukai itu. Tak banyak cerita di hidupku, tak ada yang bisa kubagikan padanya. Hari-hariku monoton, aku seperti robot, melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang. Bangun pagi, ke kampus, ke perpus, kerja hingga pukul sebelas malam. Tidur. Pagi lagi. Seperti itu terus.

Namun, aku merasa terberkati setelah bertemu Ayu. Hariku terasa berbeda. Ada dia yang selalu berbagi cerita, berbagi tawanya. Ada dia yang begitu mengerti diriku. Tanpa menuntutku untuk selalu mengerti dia. Tak harus berpura-pura menjadi orang lain untuk terlihat menarik. Tidak.

"Kenapa senyum?" Ayu bertanya, menarikku kembali dari angan-angan.

"Oh... enggak. Siapa yang senyum?" Aku tergagap menjawabnya. Memalingkan mukaku darinya.

"Yee... senyum gitu. Jangan jaim, ah!" Ayu tertawa, hingga terbatuk karenanya.

Aku ambilkan tisu, "Udah, jangan ledekin mulu. Kau itu masih sakit. Istirahat saja. Sebentar lagi aku pulang," omelku.

Ayu diam. Mukanya masam. Merajuk sepertinya.

"Harus ya?"

"Hmm?" Aku tak paham maksudnya.

Ayu mendengus pelan. Kepalanya tertunduk. Aku mengerti, dia tak ingin aku pulang. Apa mungkin? Yang benar saja. Aku tergelitik melihatnya. Pipi chubby-nya menggelembung. Diikuti bibir yang dilipat sempurna. Lucu sekali. Dasar manja!

Kuulurkan tanganku, menepuk kepalanya pelan. Gadis itu mengangkat wajahnya. Tersenyum menatapku, meski dipaksakan. Aku tahu itu.

"Besok minggu ke pantai, ya," pintanya lirih.

Aku mengangguk, memberinya senyum. "Syaratnya kau harus sehat dulu."

"Pasti!" serunya senang. Tersenyum cerah memamerkan gigi rapinya. Terlihat kontras dengan wajahnya yang pucat.

Aku bangkit, memakai jaket denimku. Memasukkan ponsel ke tas ransel.

"Aku antar ke bawah, ya."

"Enggak perlu. Aku tahu jalannya. Salam untuk Tika saja. Sampaikan terima kasihku sama dia," ucapku bersiap keluar kamar.

Ayu menarik ujung jaketku. Seakan tak rela aku pergi.

Aku menoleh padanya, "Hei? Kenapa?"

Ayu menggeleng cepat, "Mau peluk," gumamnya sangat pelan, namun telingaku bisa menangkapnya.

Aku melebarkan kelopak mataku. Astaga. Mengapa dengannya? Tumben manja sekali.

Seketika Ayu melepaskan genggamannya. Mungkin menyadari sikapnya sedikit kekanakan. "Jangan... jangan dengarkan. Kau pulang saja. Aku kenapa, sih? Aneh. He-he..." ucapnya kala itu. Mengibaskan kedua tangannya. Sekilas kulihat matanya berdenting air. Hendak menangis. Tak berani menatapku.

Aku mengembuskan napasku pasrah. Tak kuasa kutahan raga ini. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang lain di sekitar kamar. Tanganku terulur menarik bahunya. Mendekapnya di dadaku untuk sekejap saja. Lantas melepaskannya segera.

"Aku pulang, ya," pamitku.

Dia mengangguk paham. Menundukkan kepalanya.

"Jangan lupa makan malam. Minum obat dan vitaminnya," nasihatku.

Dia mengangguk lagi, kali ini lebih cepat. Masih menunduk.

"Besok minggu kita kencan. Mumpung aku baru saja gajian. Kita ke bioskop sebelum ke pantai," ucapku lagi. Kini dia mengangkat wajahnya takjub. Matanya bulat sempurna. Mulutnya bahkan sedikit terbuka. Entah bagaimana mendeskripsikannya. Yang pasti aku senang melihatnya seperti itu. Binar di matanya membuatku terpesona. Meletupkan api semangat di dadaku. Berlebihan menurut kalian? Terserah. Aku tak peduli.

Aku mengacak rambutnya pelan. Lantas melangkahkan kaki keluar. Pergi meninggalkannya dengan senyum terkulum di bibirnya nan tipis.

*****
Hari minggu, seperti ucapanku kala itu. Aku dan Ayu berada di salah satu mal. Langsung menuju lantai delapan gedung di mana terdapat bioskop di sana. Aku melihat jadwal film yang sedang diputar. Bingung sendiri memilih yang mana. Ah, inilah kelemahanku. Selalu bingung dihadapkan pada pilihan-pilihan. Lebih tepatnya tak berani membuat keputusan. Aku benci. Hari ini diputar film live action disney, ada sci-fi, action, drama, juga animasi. Ayu suka disney pasti dia akan memilih itu. Aku ikut saja, yang penting dia senang.

Ayu memintaku untuk duduk. Dia yang akan mengantre di loket. Aku pun menurut. Melihat sekeliling, ramai dengan pengunjung. Hari minggu selalu penuh sesak. Didominasi pasangan muda-mudi, anak sekolahan yang bergerombol, juga keluarga beserta anak mereka.

Aku menatap iri pada keluarga itu. Anak mereka berusia sepuluh tahun mungkin. Anak itu tertawa lebar bercanda dengan kedua orang tuanya. Sesekali sang ibu mengecup kepalanya. Sedangkan sang ayah bercanda dengan pura-pura meninju lengannya. Terlihat harmonis. Aku tak pernah merasakan itu saat seusianya. Hanya berkutat dengan pelajaran sekolah. Tak berani meminta lebih.

Aku ingat saat usiaku sembilan tahun, aku sangat menginginkan sepeda. Hanya ada satu di rumah. Itu milik Mas Aksel. Dan ukurannya terlampau besar untukku. Aku tak berani utarakan keinginanku. Aku takut ibu marah. Aku diam saja mengamati anak-anak lain bermain dengan sepedanya di lapangan komplek. Ingin menangis rasanya. Tapi kutahan sebisa mungkin. Aku anak laki-laki tak pantas untuk menangis.

Tiba-tiba Mas Aksel datang menghampiri. Berseru memanggilku, tersenyum lebar. Membawa sebuah sepeda. Bukan sepeda baru, dia membeli dari seseorang dengan uang tabungannya. Uang yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari uang sakunya. Saat menerimanya aku tak bisa berkata. Bibirku kelu. Duduk memeluk lutut. Menangis. Tak bisa kutahan lagi. Mas Aksel terlalu baik memperlakukanku. Jika harus memilih satu manusia di dunia ini yang tak boleh menderita, pastilah Mas Aksel jawabannya. Aku ingin dia selalu bahagia.

"Ayo masuk." Ayu menepuk pelan bahuku, membuatku tertoleh padanya.

Aku mengangguk, lantas berjalan bersisihan dengan Ayu. "Jadinya nonton apa?" tanyaku.

"Minions," jawabnya singkat.

Aku hentikan langkahku, "Eh? Kok___"

"Kau kan suka animasi," potongnya. Nyengir.

"Bukannya kau suka disney, Yu!" Seruku.

Dia menggeleng cepat, "Tenang, aku juga suka animasi, kok. Enggak pa-pa," senyumnya semakin mengembang.

Tak bisa kurangkai kalimat lagi. Entah bagaimana ekspresi di wajahku saat itu. Antara senang, takjub, tak percaya. Sikapnya terkesan sederhana bahkan sepele untuk sebagian orang. Namun, perlakuannya sungguh menyentuh kalbuku. Ada gadis seperti Ayu di duniaku. Dunia kosong dan hampa milikku. Kehidupan monoton dan tak menarik sama sekali. Mataku terasa panas. Dadaku sesak oleh buncah haru. Sekuat tenaga kutahan laju air agar tak sampai menggenang di mataku. Tidak. Aku bahagia. Tak seharusnya aku menangis di hadapannya.

"Ayo! Kok malah diam saja?" Ayu menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk mantap. Tersenyum. Gadis itu memeluk lenganku, menariknya pelan. Berjalan menuju ruang teater di mana film kami diputar.

Ayu riang menatap lurus ke depan. Rambut lurus panjangnya bergerak-gerak sesuai irama tubuhnya. Aku melihat wajahnya dari samping. Cantik, pipinya bersemu merah. Andaikan aku boleh menawar. Jika ada satu lagi manusia yang tak boleh menderita di dunia ini, aku akan mantap menjawabnya, Ayu. Aku harap kau bahagia selama bersamaku dan entah untuk esok jika takdir memaksaku untuk berpisah denganmu. Aku tetap ingin kau bahagia dengan siapa pun itu.

Next? Vote, Share, Comment.

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang