27. Di Puncak

389 59 12
                                    

Sabtu malam, setelah lelah seharian melakukan berbagai kegiatan seru di puncak. Sejak siang tadi, kami menyewa sepeda untuk berkeliling di kebun teh, mengunjungi air terjun cantik yang tak jauh dari penginapan, juga berenang di kolam renang yang tersedia dengan pemandangan hutan sebagai latarnya. Semua terasa menenangkan, terasa istimewa. Munafik jika aku bilang bukan karena Ayu, tentu karena ada dia di dekatku. Meski hati terasa perih, bagai ditusuk ribuan paku. Menjadi saksi betapa perhatiannya Mas Aksel pada Ayu, namun setidaknya, aku bisa melihat paras dan senyumannya. Hal itu sudah lebih dari cukup.

Kami berlima duduk melingkar, bersila di lantai kayu. Ada sebuah botol bekas di tengah-tengah kami. Kami berlima saling tatap, Mas Aksel berinisiatif memutar botol itu. Botol terus berputar, aku harap-harap cemas. Jangan sampai menjadi 'korban' pertama permainan ini. Akhirnya botol itu berhenti, moncongnya tepat mengarah pada Deni. Aku tertawa lega.

"Nah, Deni. Truth or dare. Ayo pilih!" titah Mas Aksel.

Deni menggaruk kepalanya. Berpikir. "Aduh, apa ya? Apa, Nuc?" Deni melihatku. Aku bersedakap, mengedikkan bahu.

"Dare saja, Mas. Tapi jangan susah-susah, ya."

Kami berunding. Deni ditantang untuk menyatakan perasaannya pada Tika. Wajah Deni dan Tika memerah seketika. Deni menepuk dadanya, mengembuskan napas. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ikan yang megap-megap setelah ditangkap nelayan, dibiarkan tergeletak dalam sampan tanpa air. Bersiap ungkapkan perasaanya.

Deni berdehem, menyentuh lehernya. Menghadap Tika, meraih tangan gadis itu. Tika tampak malu-malu. Membenarkan posisi kacamatanya.

"Tika, kau pasti sudah tahu isi hatiku. Kita memang baru saling mengenal. Sebenarnya, aku ndak mau terburu-buru. Tapi ndak apa-apa. Aku bilang sekarang saja." Deni membenarkan posisi duduk, berdehem lagi. "Tika cantik, aku cinta sama Tika. Mau ndak jadi pacarku? Jadi ibu dari anak-anakku kelak?" ungkap Deni lantang. Tika tersipu. Lantas mengangguk pelan. Segera menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangan.

Deni mengangkat tangannya. Mengepal. "Yes! Yes! Jadi kawin, Nuc!" teriaknya girang. Menggoncangkan tubuhku saking senangnya.

Aku tertawa. Memberinya tepukan selamat. Aku melirik Ayu yang juga tertawa. Memeluk Tika, ikut merasakan kebahagiaan kawan karibnya.

Permainan kembali bergulir, setelah semuanya kembali tenang. Botol itu berputar cepat. Lantas berhenti tepat mengarah padaku. Ah, sial!

"Ayo pilih, Nuc." Mas Aksel tersenyum.

Aku mengusap tengkuk. Aku tidak suka tantangan. Sudahlah. Ini hanya permainan.

"Aku pilih truth, Mas." Aku menjawab mantap.

"Oke ... hem ...." Mas Aksel mengetuk dagunya dengan telunjuk. Aku sedikit tegang, semoga bukan pertanyaan yang sensitif.

"Aku selalu penasaran dengan kisah cintamu. Ayo ceritakan, Nuc. Harus jujur!" Mas Aksel memberi penekanan di akhir kalimat.

Mampus!

"Iya, Mas. Setuju. Aku saja ndak pernah tahu. Cerita, Nuc. Cerita." Deni sangat bersemangat. Aku melotot ke arah Deni. Dia menyiram minyak pada api. Makin membara kobarannya, hingga jantungku ikut bergemelutuk bagai batu yang membara.

"Ganti dare saja, Mas." Aku menggaruk kepala.

Mas Aksel menggeleng. "Tidak. Apa susahnya berbagi cerita? Kau ini!" Mas Aksel berkacak pinggang.

Aku melirik Ayu. Gadis itu diam. Tika juga diam.

Aku mengambil napas dalam.

"Apa yang bisa kuceritakan? Kisahku tidak menarik, Mas," sanggahku.

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang