Kalau kalian melihat aku dan kakakku berjalan, kalian pasti mengira kalau kami berpacaran.
Pfft, sori aja ya, aku ogah berpacaran sama cowok tengik ini. Cowok tengik bernama Lee Donghae yang sudah kukenal sejak aku lahir di dunia ini, adalah kakak laki-lakiku asli. Kami lahir dari rahim yang sama, meskipun wajah kami memang tidak terlalu mirip. Wajahku lebih mirip ke ibu sedangkan wajahnya lebih mirip ke ayah.
Tapi aku berani bersumpah, kami ini kakak-beradik, kok.
Gini deh, biar kuceritakan sejarah hidupku kepada kalian secara singkat supaya kalian tidak bingung.
Ibuku dibunuh sewaktu aku berumur lima tahun. Ayahku, yang saat itu berada di tempat kejadian, diduga sebagai tersangka utama. Sialnya, ayahku malah kabur dan meninggalkan aku dan kakakku yang saat itu berumur tujuh tahun. Kami akhirnya diasuh oleh Paman Lee yang notabene merupakan adik dari ayah sampai aku berusia delapan belas tahun.
Lalu, kakakku yang tengik itu memutuskan untuk pergi mencari ayah kami saat dia rasa dirinya sudah cukup dewasa. Aku tahu, usianya saat itu sudah dua puluh tahun dan aku rasa dia sudah cukup besar, tapi Paman Lee menentangnya keras-keras.
Mereka bertengkar hebat dan aku ikut terseret di dalamnya. Saat itu aku diberi dua pilihan yang cukup sulit, yaitu ikut pergi bersama kakakku atau tetap tinggal bersama Paman Lee dan meneruskan kuliah.
Kalian pasti sudah bisa menebak yang mana yang aku pilih. Ya, aku memilih untuk mengikuti kakakku dan meninggalkan pendidikan, padahal saat itu aku mendapat beasiswa penuh dari Standford Amerika karena prestasiku yang bagus semasa SMA. Aku tahu, ada banyak sekali anak diluar sana yang menginginkan beasiswa itu dan aku malah membuangnya jauh-jauh.
Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak pantas menuntut ilmu sendirian sementara kakakku keluyuran mencari ayah kami yang entah ada dimana. Jadi, demi memastikan bahwa kakakku tidak melakukan hal-hal yang aneh, aku pergi mengikutinya.
Begitulah, aku dan dia ini sudah sepaket. Kemanapun aku pergi, dia selalu ada bersamaku dan begitu pula sebaliknya.
Terdengar romantis? Ewh.
Kami sadar bahwa perjalanan kami membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan mengandalkan uang tabungan kami berdua saja juga tidak akan cukup. Maka dari itu, kami membuka jasa detektif swasta.
Jangan ketawa dulu, aku serius.
Terdengar aneh? Ya, tapi itu adalah satu-satunya hal yang kami berdua bisa lakukan dengan sangat baik. Kami jago dalam memecahkan masalah, baik itu yang kecil ataupun yang besar. Fyi nih ya, ayah kami dulu adalah seorang detektif kepolisian. Ada banyak sekali buku-buku tentang hukum berserakan di rumah kami dulu, membuatku bisa dengan mudah membacanya. Yup, saat aku berusia tiga tahun aku sudah jago membaca. Gila, kan?
Jadi, dengan bermodalkan bakat turunan dan nekat juga kepepet, kami menjalankan usaha ini. Kami bisa dipanggil kemana saja, bahkan ke pelosok kota sekalipun, menyelesaikan masalah dari orang-orang yang meminta bantuan kami. Itu sebabnya, kami tidak punya tempat tinggal tetap dan selalu hidup nomaden.
Seperti sekarang ini. Aku menerima e-mail dari seseorang yang memiliki kasus dan meminta bantuan kami. Kakakku--Donghae, langsung tancap gas menuju tempat si pemohon tanpa banyak bicara, membuatku kebingungan melihatnya.
Maksudku, hello, dia kan cuman minta dicarikan kalungnya yang hilang saja. Bukan kasus yang begitu penting, tapi kenapa reaksinya berlebihan seperti itu?
"Kasus nggak kenal waktu, adikku." katanya. "Begitu kita dapat e-mail permohonan, kita harus langsung berangkat."
"Ya, dengan kecepatan 120 km/jam seperti ini?" tanyaku sinis.
Donghae nyengir kuda. "Mobil kita masih kuat, kok"
"Mobil kita ini keluaran tahun 67, alias, sudah waktunya dirongsok."
"Nggak juga, buktinya masih kuat diajak ngebut, tuh."
Aku mengangkat bahuku. "Nggak tau ya, kalau tiba-tiba dia mogok nanti."
Donghae tersenyum kecil lalu mengacak-acak rambutku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap memegang setir.
"Kalau uang kita terkumpul banyak, aku janji bakal beliin mobil yang lebih bagus. Kamu mau apa? Mercedes? Ford?"
"Alphard." jawabku singkat.
Donghae membelalakkan matanya. "Serius?"
"Yeah, katanya yang lebih bagus, kan?"
"Aku nggak yakin Alphard bisa diajak ngebut."
"Kamu belum coba aja." cibirku.
"Oke." Donghae menghela napasnya. "Alphard, huh? Taruhan, dua tahun lagi mobil itu akan berakhir di tukang rongsok."
Aku tertawa mencibir lalu merasakan ponselku bergetar, tanda ada telepon masuk. Dari nomor tidak dikenal.
Aku mengerutkan keningku lalu menjawab telepon dengan ragu-ragu.
"Halo?""Halo, Yuri-ssi? Ini aku, Im Yoona, yang barusan mengirim e-mail permohonan."
"Ah, Yoona-ssi, ada apa? Kami sedang dalam perjalanan menuju rumahmu."
"Itu, err--kalian bisa datang ke Green Season Cafe? Kita bertemu di sana saja, saat ini rumahku kedatangan banyak tamu penting, aku takut kalian jadi tidak nyaman."
Aku mengerutkan keningku. "Baiklah, kami akan menuju ke sana."
"Bagus, cafe itu tidak terlalu jauh dari rumahku, kok. Aku akan menunggu disana. Sampai jumpa."
Kemudian sambungan telepon diputus.
"Siapa?" tanya Donghae.
"Yoona, pemohon kasus baru. Kita nggak jadi ke rumahnya."
"Hah?!"
"Maksud aku, kita ketemuan di cafe dekat rumahnya." sambungku cepat, membuat tampang Donghae yang semula seperti orang jantungan kembali normal.
"Oh, memang kenapa?"
"Katanya di rumahnya lagi ada banyak tamu penting, takut mengganggu pertemuan kita."
"Atau takut kita menganggu pertemuan mereka." kata Donghae, membuatku menatapnya heran.
"Maksudmu?"
"Nggak, apa nama cafe-nya?
Aku mengerlingkan mataku kemudian menjawab, "Green Season Cafe."
"Oh, nggak terlalu jauh. Sebentar lagi juga sampai."
Awalnya aku bingung apa yang dimaksud Donghae dengan sebentar lagi sampai, tapi sedetik kemudian aku tersadar. Kami sudah sampai di gerbang tol keluar, dan itu artinya, Donghae ngebut tanpa berhenti sedari tadi.
Dasar gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Diadem
FanfictionDonghae dan Yuri menyelidiki kasus hilangnya sebuah kalung bernilai milyaran. Akan tetapi, mereka bukan satu-satunya orang yang mencari kalung itu. Ada pihak lain yang menginginkan kalung itu demi uang, dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh si...