Donghae

277 29 3
                                    

Kadang-kadang, aku benci kalau aku benar.

Oke, kita kesampingkan dulu masalah itu. Ada hal yang lebih penting saat ini.

Begitu mendengar suara gaduh yang kemudian disusul dengan suara jeritan seorang cowok--aku yakin banget itu suara Jongin si pengurus kebun berbadan kuli--aku langsung berlari menghampiri sumber suara alias kamar yang berada di jajaran paling belakang.

Begitu aku sampai, aku melihat badan besar Jongin yang tertindih oleh lemari, plus dengan sebuah genangan darah yang mulai menyentuh ujung sepatuku.

Ya tuhan.

Tanpa perlu pikir panjang lagi aku mengangkat lemari itu--yang sialnya, berat banget. Aku nggak ngerti kenapa lemari berukuran sedang bisa seberat ini. Seseorang pasti mengisinya dengan batu atau apalah itu.

"Jangan bengong dan cepat angkat lemarinya, bodoh!" seru Yuri, yang tahu-tahu sudah berada di sampingku. Akhirnya, dengan kekuatan dari kami berdua, lemari itu berhasil terangkat, meninggalkan Jongin yang sudah terbujur lemas, pingsan, dengan perut yang mengeluarkan darah dan muka yang penuh dengan luka.

Dengan sigap Yuri menggunakan kain selimut yang berada di atas kasur untuk menghambat pendarahan di perut Jongin, sementara Yoona dan Seulgi datang nggak lama kemudian. Raut wajah kedua gadis itu seperti orang yang sehabis bertemu dengan hantu.

Dan seperti yang bisa kutebak, mereka berdua menjerit.

Tipikal cewek banget.

"Kenapa--" aku buru-buru memotong ucapan Yoona.

"Cepat telepon ambulans, dia butuh pertolongan."

Tanpa banyak bertanya Yoona segera mengeluarkan ponselnya lalu menelepon ambulans, sementara Seulgi berdiri mematung di sampingnya dengan wajah yang kembali pucat.

Hanya perlu menunggu lima menit sampai ambulans datang. Jongin langsung dilarikan ke rumah sakit, dengan Yoona, Seulgi dan Yuri yang ikut menemaninya. Hoho, jangan tanyakan aku kenapa aku nggak ikut ke rumah sakit, ya.

Aku benci rumah sakit.

Jadi, setelah mereka semua pergi, kini hanya ada aku sendirian yang berada di kamar Jongin--atau yang sekarang sudah berubah menjadi TKP.

Aku menatap ke sekeliling kamar. Ukurannya nggak jauh berbeda dengan kamar Seulgi, hanya saja perabotan yang ada disini lebih sedikit, membuat kamar ini terkesan lebih luas. Hanya ada sebuah kasur dan lemari berukuran sedang, benar-benar simple.

Dan ngomong-ngomong tentang lemari sialan itu, aku jadi ingin tahu apa yang ada di dalamnya sampai bisa se-berat itu. Asal kalian tahu saja, rasanya seperti mengangkat gajah.

Yah, meskipun aku belum pernah mengangkat gajah beneran sih. Dan nggak akan mau juga.

Perlahan, aku membuka pintu lemari yang sudah mulai reyot itu, kemudian disambut oleh longsoran tanah dari dalamnya, membuatku cepat-cepat menyingkir.

Tanah, huh?

Setelah longsoran tanah itu habis dan menutupi hampir sebagian dari lantai, aku bisa melihat dengan jelas baju-baju milik Jongin yang semuanya kotor akibat tanah. Di antara baju-baju itu, sepucuk surat dengan amplop yang sudah kotor tersimpan dengan rapi, dan seakan-akan menyuruhku untuk segera mengambil nya.

Dan begitu aku buka surat itu, isinya sama persis dengan surat yang kutemukan di kamar Seulgi barusan.

Oh, jadi ini teror keduanya, ya?

Sekarang, pertanyaannya, bagaimana lemari itu bisa jatuh dan menimpa Jongin?

Tunggu, ada yang janggal dari isi lemarinya.

Tumpukan baju yang ada di lemari itu hanya ada sedikit. Lima belas, kalau perkiraanku benar, atau kurang dari itu. Semuanya merupakan kaus oblong dengan warna yang sudah memudar. Tumpukan celana yang ada di sana juga hanya ada kurang lebih lima buah, dan semuanya sama lusuhnya.

Kalau Jongin memang pengurus kebun di rumah ini, kenapa persediaan baju yang dimilikinya sedikit banget? Apa dia memang jorok sampai jarang mengganti baju?

Belum selesai aku menggeledah isi lemarinya, ponselku berbunyi. Yuri menelepon.

"Hai, bagaimana?" sambarku.

"Pendarahannya lumayan." jawab Yuri. "Dia terluka karena gagang lemari yang berat itu, kan?"

Oh iya, aku belum cek yang satu itu. Bego juga ya aku ini.

Aku menutup pintu lemari itu lalu melihat gagang pintunya yang terbuat dari besi, dengan noda darah yang sudah mengering di sekelilingnya.

"Yup." jawabku. "Pasti karena berat dari lemari yang menekan gagang itu hingga menusuk perutnya. Dan ngomong-ngomong soal lemari itu, mau tahu isinya apa?"

"Apaan?"

"Tanah."

"Hah?!"

"Oke, kedengarannya aneh emang, tapi aku serius. Nanti aku fotoin deh."

"Nggak usah, aku akan balik ke sana sekarang."

"Loh, sama siapa? Bukannya tadi kamu kesana naik ambulans? Nanti pulangnya pake apa?"

"Ya pake mobil lah bego." Yuri mendengus di sana, dan aku nggak bisa menahan diri untuk nggak terkekeh. Aku ini seneng banget godain adikku, hehe.

"Aku balik ke sana bareng Yoona, Seulgi tetap di rumah sakit. Kelihatannya cewek itu suka sama Jongin."

"Hah?! Cewek seimut itu suka sama kuli kayak dia?"

"Norak." sahut Yuri judes. "Cinta nggak mandang fisik, ngerti?"

"Kata seseorang yang sampe sekarang belum pernah pacaran."

"Udah ah, ngapain jadi ngomongin ginian, sih! Lima menit lagi aku sudah ada disana, tunggu aku dan jangan berbuat yang aneh-aneh!"

Lalu sambungan telepon diputus sementara aku masih berusaha untuk nggak tertawa ngakak. Katakan lah aku ini kakak yang jahil, tapi menggoda adikku itu rasanya menyenangkan.

Aku kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, lalu berhenti untuk melihat sepatuku yang sudah kotor karena tanah. Sial, bakalan susah nyucinya nih.

Tuh, kan, sudah kubilang tebakanku tepat. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar kasus pencurian liontin.

Dan sekali lagi, aku benci kalau aku benar.







The Lost Diadem Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang