Yuri

314 33 2
                                    

Awalnya, aku kira neneknya Yoona itu adalah seorang wanita tua dengan rambut acak-acakan, wajah keriput menyeramkan, dan badan yang bungkuk mirip nenek sihir.

Ternyata aku salah besar.

Neneknya Yoona adalah seorang wanita tua dengan penampilan luar biasa anggun dan berkelas. Keriput di wajahnya memang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, tapi dia menutupinya dengan baju yang dikenakannya--aku berani taruhan mereknya pasti Chanel--dan perhiasan yang menghiasi leher dan tangannya. Rambutnya yang sudah memutih diikatnya dengan begitu rapi, membuat penampilannya makin sempurna.

Aku jadi membandingkan penampilan neneknya Yoona dengan si nenek guci dari Gangnam kemarin. Ya ampun, beda banget.

Mata nenek itu yang semula tertuju pada majalah yang tengah dibacanya kini menatap kearahku, Yoona dan Donghae dengan tajam.

"Kukira kau sudah nggak punya teman." kata nenek itu dengan nada angkuh, membuatku terbelalak mendengarnya.

Yoona, seperti sudah terbiasa dengan sikap neneknya yang seperti itu, hanya tersenyum kecil.

"Mereka adalah orang-orang yang akan membantuku mencari liontin itu, halmeoni." katanya.

Nenek itu menyipitkan matanya, kali ini menatap aku dan Donghae secara bergantian.

"Anak-anak remaja ingusan ini?" tanyanya sinis.

What the--? Ingusan?

"Perkenalkan, nama saya Lee Donghae dan ini adik saya, Yuri. Kami berdua akan menjamin liontin itu kembali ke tangan yang benar, nyonya." kata Donghae, memperkenalkan dirinya dengan sopan sekali sementara aku hanya menatapnya sambil menaikkan sebelah alisku.

Ya, itulah kelebihan kakakku. Dia masih bisa bersikap sopan--kelewat sopan, malahan, dihadapan orang yang tingkah lakunya brengsek sekalipun. Satu hal yang tidak ada dalam diriku.

"Apa kalian ini, semacam tukang cari barang hilang?" tanyanya lagi, tidak meninggalkan kesinisannya. 

Astaga, aku tahu dia ini nenek-nenek, tapi gayanya berbicara membuatku ingin sekali mencubit mulutnya yang mengeluarkan nada-nada sinis itu. Benar-benar sombong. Ugh.

"Sebenarnya kami ini detektif swasta, tapi ya, itu juga bisa." jawab Donghae dengan cengiran khasnya. 

"Cih," Nenek itu tersenyum sinis. "Detektif swasta, huh? Darimana kamu menemukan orang-orang ini, Yoong?"

Yoona mendelik kearah neneknya, kemudian menyuruh kami berdua untuk duduk di sofa di hadapan nenek itu. Aku, dengan senang hati duduk dihadapan nenek itu yang langsung mendapat tatapan tajam darinya. Oke, aku mungkin dikenal sebagai 'Yuri-si-gadis-baik' tapi saat aku sudah kesal terhadap seseorang, aku bisa berubah menjadi 'Yuri-si-gadis-yang-nggak-baik'.

Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak suka dikatai seperti itu oleh orang lain. 

Donghae duduk disampingku, dan caranya untuk menghempaskan pantatnya di sofa yang empuk ini benar-benar terlihat tak kalah berkelasnya. Rasanya aneh melihat kakakku yang tengik itu bersikap penuh wibawa seperti ini. Aku sudah terbiasa melihat sikapnya yang asal-asalan dan cenderung nyeleneh, sih. Jadi melihatnya bersikap bak cowok-cowok bangsawan begini seperti melihat orang lain saja.

"Sudah kubilang jangan pernah melepaskan liontin itu dari lehermu. Lihat akibatnya sekarang, liontin itu dicuri dan semua orang jadi repot karena kecerobohanmu." kata si nenek, membuat Yoona yang duduk di samping Donghae tertunduk. 

"Mana aku tahu kalau di rumah ini ada pencuri." katanya. "Katanya rumah ini memiliki pengamanan yang baik, tapi mencegah pencuri masuk saja nggak bisa."

"Hal-hal aneh kadang terjadi di rumah ini." kata nenek itu dingin. 

Tunggu dulu, apa yang dimaksudnya dengan hal-hal aneh? Apa dirumah ini ada hantunya?

"Aku nggak mau tahu. Kalau sampai liontin itu terjual, aku terpaksa mencoret namamu dari daftar warisan keluarga." sambung nenek itu lagi, membuatku membelalakkan mataku.

"Maksudnya? Dia sudah nggak dianggap keluarga lagi, gitu?" tanyaku, sementara Donghae memelototiku dan Yoona menatapku kaget. 

"Jaga bicaramu, nona muda." nenek itu menatapku dingin. 

"Maaf nek, tapi rasanya itu nggak adil buat Yoona. Bukan kesalahannya kan liontin itu dicuri? Yoona pikir rumah ini kan aman, jadi dia menyimpan liontin itu di tempat perhiasan. Dia sama sekali nggak tahu bahwa di rumah sebesar dan semewah ini ada pencurinya. Seharusnya nenek menyalahkan satpam rumah ini, bukan Yoona." kataku ketus.

"Apa yang akan aku lakukan terhadap Yoona adalah urusanku, keputusanku, dan sama sekali tidak ada kaitannya denganmu." kata nenek itu, dengan dagu terangkat yang dan tampang angkuh.

That's it. Kesabaranku sudah habis. 

Aku bangkit sambil menghentakkan kakiku, kali ini menatapnya dari posisi yang lebih tinggi darinya.

"Apa yang salah dengan otak anda, nek?" tanyaku, kemudian berjalan dengan langkah keras, membuat suara sepatuku menggema di ruangan ini. Aku tidak mempedulikan Donghae dan Yoona yang memanggil-manggilku, yang aku inginkan hanyalah segera enyah dari hadapan nenek tua itu sebelum aku benar-benar mencubit bibirnya yang pedas itu.

Aku berjalan menuju pintu belakang--berhubung itu satu-satunya jalan keluar yang aku tahu, aku kan belum sempat mengadakan tur keliling rumah. Untuk bisa mencapai pintu itu aku harus melewati perpustakaan, kamar-kamar para asisten rumah tangga, lalu dapur. Berhubung aku berjalan dengan kecepatan kuda, aku melewati pintu perpustakaan dan mendapati diriku sendiri sudah berada di area kamar-kamar para asisten rumah tangga, dan mendapati Seulgi tengah berdiri di depan kamarnya, kakinya gemetar, dan wajahnya pucat.

"Ada apa?" tanyaku. 

Seulgi hanya menggeleng, kemoceng yang tampaknya seperti barang andalannya itu digenggamnya erat-erat.

"Seulgi-ah, kamu nggak habis lihat hantu, kan?" tanyaku lagi. 

Seulgi menelan ludahnya kemudian menjawab dengan sebuah bisikan kecil. "Di kamarku."

"Ada apa di kamarmu?"

Seulgi hanya menunjuk sebuah pintu kamar yang aku yakini sebagai kamarnya. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka pintu kamar itu, lalu disambut oleh sebuah tulisan besar-besar berwarna merah di dindingnya yang berbunyi, 

'MATI, MATI, MATI!'

The Lost Diadem Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang