Yuri

289 30 6
                                    

Entah kenapa, aku punya firasat bahwa kasus yang kami tangani ini akan menjadi sangat serius, dan penuh dengan tumpah darah. Katakanlah aku berlebihan, tapi firasat ini terus mengganjal otakku sejak aku menginjakkan kaki di rumah ini.

Dan biasanya, firasatku kadang-kadang benar. Satu hal yang membuatku kesal setengah mati.

Saat ini aku tengah mengusap-usap punggung Seulgi yang masih gemetaran seperti orang menggigil yang sehabis diceburkan ke kolam es. Wajah pucatnya sudah berangsur memerah, tapi tangannya masih mengepal menahan rasa takutnya. Aku jadi kasihan sama cewek ini.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Yoona, yang sedari tadi bertugas untuk memijat-mijat tangan Seulgi yang kaku.

"Sudah lebih baik nona, terima kasih." jawab Seulgi dengan suara yang pelan banget.

"Jadi," aku menarik napasku. "Kau mau ceritakan bagaimana kau menemukan tulisan di dinding kamarmu itu?"

Seulgi menghela napasnya kemudian menelan ludahnya.
"T-tadi, setelah kembali dari kamar nona Yoona aku bergegas merapikan perpustakaan, setelah itu aku kembali ke kamarku dan tahu-tahu tulisan itu sudah ada disana."

"Apa ada orang lain yang memegang kunci kamarmu?" sambarku lagi.

Seulgi menggeleng. "Hanya aku yang memegang kuncinya."

"Semua pelayan di rumah ini hanya memegang kunci kamar mereka masing-masing." tambah Yoona. "Setahuku, nenek yang mengatur semuanya."

Aku menatap pintu itu. Bagaimana caranya si pelaku masuk sementara tidak ada yang memegang kunci kamar itu selain Seulgi dan tidak ada tanda-tanda pintu dibuka secara paksa? Apa dia ber-apparate seperti Harry Potter?

Mustahil, kan?

Donghae keluar dari kamar Seulgi dengan wajah abstrak. Dahinya berkerut, sementara aku bisa melihat dengan jelas butir-butir keringat di pelipisnya. Ada apa dengan bocah tengik ini?

"Kenapa?" tanyaku, sementara Donghae hanya menggeleng pelan.

"Kurasa," Donghae menelan ludahnya. "Aku perlu bicara denganmu. Berdua."

Aku menghela napasku kemudian mengangguk. "Oke."

Setelah meminta izin untuk keluar sebentar kepada Yoona yang dibalasnya dengan sebuah anggukan plus senyuman manis--aku yakin, kalau Donghae lagi dalam kondisi normal, dia akan menjerit kegirangan melihatnya-- kami berdua keluar lewat pintu dapur.

Aku keluar terlebih dahulu sementara Donghae menutup pintunya, lalu menyandarkan punggungnya di pintu itu. Tangannya merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sepucuk surat yang mirip seperti surat tagihan hutang.

"Apaan itu?" tanyaku

"Surat ancaman." jawab Donghae pelan.

Aku merebut surat itu dari tangannya kemudian buru-buru membaca isinya.

'Liontin itu milikku! Mencarinya dan kalian akan mati! Mati! Mati!'

"Ini sesuatu yang lebih serius dari yang aku duga." kata Donghae, kemudian aku mengangguk membenarkan pernyataannya.

"Definitely." Aku menyerahkan kembali surat itu kepadanya. "Untuk sementara kita simpan dulu surat itu sebagai barang bukti."

"Aku yakin sampai jenggotku tumbuh kalau pencurinya adalah orang dalam. Dan kemungkinan besar, dia belum sempat menjual kalung itu kemanapun." kata Donghae sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Yah," aku terkekeh mendengar ungkapannya yang nyeleneh itu. "Aku juga sepemikiran sama kamu."

"Pertanyaannya, kenapa dia meneror Seulgi seperti itu? Kenapa harus kamar Seulgi yang jadi sasaran?"

Untuk yang satu itu, aku juga masih bingung. Seulgi hanyalah seorang asisten rumah tangga biasa, dan dilihat dari gerak-geriknya, dia anak yang polos. Maksudku, tidak ada yang begitu mencurigakan darinya.

Kenapa harus dia yang kena teror?

Saat aku dan Donghae tengah asyik-asyiknya berpikir, seorang cowok dengan rambut acak-acakan, kulit yang terlihat seperti terbakar matahari, dan baju penuh noda tanah yang sekaligus menunjukkan otot-ototnya yang luar biasa kekar datang menghampiri kami dengan dahi mengkerut.

"Siapa kalian?" tanyanya, dan aku buru-buru menjawabnya karena cowok itu terlihat bersiap memukuli kami berdua.

"Aku Yuri, dia Donghae. Kami teman dari Yoona."

"Yoona?" cowok itu menaikkan sebelah alisnya. "Oh, nona muda?"

Aku mengangguk cepat kemudian tersenyum garing.

"Dan kau adalah..." pertanyaan Donghae keburu dipotong oleh cowok itu.

"Kim Jongin, pengurus kebun di rumah ini." jawabnya cepat.

Oke, itu menjelaskan kenapa dia berpakaian selusuh itu.

"Kenapa dua tamu nona muda bisa ada di belakang?" tanya Jongin, dan kali ini Donghae yang menjawab.

"Barusan aku menerima telepon dari orang tuaku." jawabnya. "Dan orang tuaku adalah orangtuanya juga." Donghae menunjukku, yang langsung aku tanggapi dengan sebuah anggukan kecil.

"Kami kakak beradik." kataku, lalu Jongin merespon dengan mengangguk singkat.

"Kalian... Bukan maling kan?"

"Bukan, kami justru orang-orang yang kerjaannya menangkap maling." jawab Donghae dengan santai. "Jadi kamu nggak perlu khawatir, oke?"

Jongin mengangkat kedua bahunya. "Oke, untuk sementara akan kubiarkan kalian."

Aku menghela napas lega. Awalnya, aku kira dia akan benar-benar menghajar kami berdua. Bukannya aku takut dipukuli atau apa, hei, gini-gini juga aku jago bela diri. Hanya saja aku bukan tipe orang yang senang mencari masalah, dan bagiku, adu otot bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah.

Jongin akhirnya masuk terlebih dahulu kedalam rumah lewat pintu belakang, sementara aku dan Donghae memutuskan untuk mengikutinya dari belakang. Aku bisa melihat Seulgi yang sudah mulai membaik dan Yoona yang masih setia menemaninya.

"Bagaimana, sudah lebih baik?" tanya Donghae kepada Seulgi, yang dibalas cewek itu dengan sebuah anggukan kaku.

Donghae tersenyum kecil. Cih, sepertinya dia sudah kembali ke mode normal.

"Jadi, menurutmu siapa yang melakukan ini, Donghae-ssi?" tanya Yoona, yang direspon oleh Donghae dengan sebuah kicapan mata, membuatku bergidik jijik.

"Aku belum tahu pasti, Yoona-ssi, tapi aku yakin pelakunya adalah orang yang tinggal di rumah ini."

Pernyataan dari Donghae barusan membuatku membelalakkan mataku. Yah, aku bukan satu-satunya orang yang membelalakkan mata, Yoona dan Seulgi juga melakukan hal yang sama, membuat kami bertiga terlihat mirip seperti trio boneka Eropa dengan mata lebar.

"Yakin?" tanyaku, kemudian Donghae mengangguk mantap.

"Darimana kau bisa tahu itu, Donghae-ssi?" kali ini Yoona yang bertanya.

"Instingku yang mengatakannya." jawab Donghae dengan tampang sombong yang memuakkan. "Aku juga belum tahu pasti, tapi aku yakin seratus persen pencurinya ada diantara kita."

Oke, untuk urusan seperti ini, aku tidak bisa membantah Donghae. Tebakannya selalu tepat.

"Kalau boleh, aku ingin semua orang di rumah ini berkumpul dulu, supaya--"

Perkataan Donghae keburu terpotong dengan sebuah suara gaduh dari arah belakang, dari arah kamar pelayan paling belakang.

Kemudian, suara gaduh itu berubah menjadi suara jeritan.





The Lost Diadem Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang