Donghae

298 34 2
                                    

Baru kali ini aku ketemu nenek-nenek yang gayanya sombong banget.

Oke, dia kaya, rumahnya sebesar istana, dandanannya borjuis luar biasa, tapi kan, dia sudah tua. Awalnya, aku cukup takjub melihat kemampuan si nenek ini untuk menyamarkan identitasnya sebagai wanita lansia dengan baju yang keren dan perhiasan menyilaukan itu, tapi setelah melihatnya berbicara dengan begitu angkuhnya, aku jadi merasa bahwa semua itu nggak perlu.

Yah, dia kan nenek-nenek. Nggak pantas lah bergaya seperti itu.

Kalau aku bilang aku nggak kesal setengah mati dengan gaya si nenek, aku bohong banget. Yuri bahkan dengan terang-terangan menunjukkan kekesalannya dengan berkata nyolot kepada si nenek lalu pergi dengan gaya yang menurutku keren, membuatku bangga padanya.

Hehe.

Tapi, aku yang sudah kagok bersikap penuh wibawa begini rasanya nggak mungkin jika harus tiba-tiba mendamprat si nenek juga, jadi aku berusaha keras untuk menahan diriku sendiri supaya nggak meledak-ledak dan tetap bersikap 'manis' di depan si nenek.

Nggak mungkin kan, aku merusak reputasiku sebagai cowok tampan berwibawa? Jarang-jarang lho aku kayak gini.

"Teman cewekmu itu nggak punya sopan santun." kata si nenek ketus.

"Yah, halmeoni juga nggak jauh berbeda, sih." bisik Yoona yang hanya terdengar olehku, membuatku tersenyum kecil.

"Apa orang tuanya nggak pernah mengajari dia cara bersikap pada orang yang lebih tua?" nenek itu melipat kedua tangannya kemudian bersandar pada sofa.

"Maafkan sikap adikku barusan, nyonya Im. Ibu kami meninggal sewaktu kami masih kecil, sedangkan ayah kami menghilang entah kemana. Jadi, sifatnya mungkin memang sedikit menyebalkan." kataku, membuat Yoona terbelalak sementara nenek Im hanya terdiam.

"Jadi," kataku, cepat-cepat mengganti topik. "Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya nyonya Im, aku dan adikku akan memastikan bahwa liontin itu kembali ke tangan Yoona tanpa cacat sedikitpun. "

"Lima hari." kata nenek Im. "Kau punya waktu lima hari untuk menemukan liontin itu."

Aku tersenyum manis kemudian mengangguk. "Pasti, nyonya. Pasti."

Lima hari ya? Taruhan, aku dan Yuri bisa menemukan siapa pencuri liontin itu dalam waktu tiga hari. Hohoho, lihat saja nanti.

"Apa lima hari nggak terlalu sebentar?" tanya Yoona ragu.

"Aku tidak akan mengambil resiko membuang-buang waktuku terlalu lama dengan anak kecil yang berlagak seperti detektif," jawabnya, dengan nada sinis andalannya sementara aku hanya bisa mengulum senyum, berusaha untuk nggak meledak seperti Yuri barusan. "Tapi tidak ada salahnya memberikan mereka kesempatan."

Mendengar perkataan si nenek, aku nggak tahu apa aku harus senang atau malah tambah kesal.

Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Nama Yuri tertera di layarnya, dan begitu aku membukanya, aku disambut oleh sebuah foto dinding yang bertuliskan 'MATI, MATI, MATI!' dengan warna merah yang aku kira adalah darah.

'Cepat pergi ke kamar asisten rumah tangga sekarang, URGENCY.'

"Anu," aku memasukkan ponselku kedalam saku kemudian bangkit dari sofa empuk itu. "Kurasa ada sesuatu yang harus kalian lihat sekarang."

Nenek Im mengerutkan keningnya, begitu pula dengan Yoona.

"Apa?" tanya Yoona.

"Err--lebih baik kalian ikut aku ke kamar asisten rumah tangga sekarang." jawabku. "Kalian akan langsung tahu jawabannya disana."

Jadi, tanpa banyak basa-basi aku memimpin Yoona dan nenek Im berjalan menuju kamar-kamar asisten rumah tangga yang letaknya dekat dengan dapur di belakang. Di sana, aku melihat Yuri yang tengah menepuk-nepuk Seulgi--si pelayan yang memukuliku dengan kemoceng--yang wajahnya pucat seperti mayat.

"Ada apa?" tanya nenek Im yang terdengar lebih mirip seperti bentakan, membuat Seulgi yang gemetaran semakin menundukkan kepalanya.

Aku berjalan menuju satu-satunya kamar dengan pintu yang terbuka lebar, kemudian menemukan tulisan dengan warna merah di dinding, persis seperti foto yang dikirimkan Yuri padaku. Ada bau-bau amis yang tercium dari tulisan itu.

Astaga, apakah itu darah? Darah manusia?

"Darah hewan," kata Yuri, yang tahu-tahu sudah berada dibelakangku. "Dugaanku ini adalah darah ayam."

"Atau kucing, atau anjing, atau kelinci...." kataku, sementara Yuri mendengus kecil. Aku menyentuh tulisan itu, merasakan tekstur lengket di tanganku, menandakan bahwa itu memang darah sungguhan.

Siapapun yang menuliskan tulisan aneh ini di dinding adalah orang yang benar-benar kurang kerjaan.

Mataku menulusuri seluruh pelosok kamar, mencari-cari sesuatu yang terlihat mencurigakan. Tapi memang nggak ada yang terlihat mencurigakan disini,sih. Kamar ini juga nggak luas banget, hanya terisi oleh satu kasur berukuran kecil, satu meja rias mini dan lemari yang sama-sama berukuran mini. Seperti yang pernah diungkit-ungkit Yuri sebelumnya, nggak ada tempat bersembunyi di ruangan tertutup sekecil ini.

"Astaga!" aku mendengar nenek Im terpekik di belakangku. "Kerjaan siapa ini?!"

Yuri hanya mendelik kearah nenek itu, membuatku buru-buru menjawab pertanyaan si nenek sebelum mereka adu mulut lagi.

"Menurutku," kataku. "Siapapun yang menulis ini adalah orang dalam."

"Mana mungkin!" seru si nenek.

"Yah, kalo pencuri saja ada dirumah ini, apalagi orang iseng." gumam Yuri, sementara si nenek menaikkan sebelah alisnya.

"Itu baru perkiraanku saja." potongku cepat. "Tapi nggak ada salahnya kita kumpulkan semua orang yang saat ini ada di rumah untuk ditanyai."

Nenek Im menghentakkan langkahnya keluar kamar, meninggalkan aku dan Yuri berdua.

"Nenek tua keras kepala." desis Yuri, dan aku nggak bisa menahan diriku untuk nggak tertawa lepas.

"Jangan terlalu sinis sama dia, gitu-gitu juga dia sudah tua." kataku.

Yuri mendelik. "Peduli amat."

"Oh iya, apa kata Seulgi tentang kamarnya?"

"Nggak tau." Yuri menggeleng cepat. "Dari awal aku menemukannya berdiri mematung dengan wajah pucat kayak mayat, dia nggak ngomong apa-apa. Mungkin syok."

"Ya iyalah, siapa sih yang nggak kaget begitu tahu di kamarnya ada tulisan nyeremin begini." kataku, sementara Yuri terkekeh pelan.

"Iya sih, aku coba tanya lagi deh, siapa tahu dia sudah mau ngomong sekarang."

Setelah itu Yuri berjalan keluar kamar. Sekarang hanya ada aku dan kamar sempit dengan suasana mencekam ini.

Sebenarnya kamar ini nggak menyeramkan banget sih, toh lampunya juga terang dan cat dindingnya juga warna putih cerah. Jauh dari kata menyeramkan.

Tapi, dengan tulisan berbunyi 'Mati, Mati, Mati!' di dinding yang ditulis dengan darah ayam, suasananya berubah menjadi mencekam. Pake banget.

Oke, aku nggak boleh jadi penakut.

Aku menjarah meja rias kecil yang ada di samping kasur. Mataku terbelalak saat melihat sepucuk surat diatas meja itu, mengingat sebelumnya surat itu nggak ada disana. Atau mungkin mataku yang kurang jeli, entahlah.

Dengan jantung yang berdebar saking penasarannya, aku mengambil surat itu lalu merobek amplopnya, kemudian membaca isinya.

'Liontin itu milikku! Mencarinya dan kalian akan mati! Mati! Mati'


The Lost Diadem Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang