3. The Beginning

1.8K 391 58
                                    

Wajah Cynthia Darusman menatapnya tidak percaya. Sedikitnya dia mengerti apa arti tatapan mata itu. Heran yang bercampur dengan ketidak percayaan tentang semua kebetulan yang sedang terjadi, juga tatapan selidik dan curiga karena asumsi subjektif saja.

Dia menoleh tidak menghiraukan dan memutuskan menjawab telpon itu. Janice mengkonfirmasi perihal penerbangannya. Dia memang tidak menggunakan jet pribadi keluarga. Karena biasanya Mareno dan Mahendra lebih membutuhkan itu. Pesawat komersil juga lebih fleksible menurutnya. Setelah selesai, dia menatap wajah Cynthia yang sudah duduk dihadapannya.

"Hai Nif."

"Hai Cynthia, Aimi, Reyna. Apa kabar kalian?"

"Kamu ngapain di sini?" tanya Cynthia tanpa malu-malu.

"Cynthi, nggak sopan deh kamu. Bang Hanif maaf ya. Apa kabar kamu Bang?" Aimi menatapnya sambil tersenyum dan masih berdiri. Reyna masih mengantri kopi.

Nafasnya dia hela kesal. "Baik Aimi. Ada kerjaan, baru aja selesai dan mau balik."

"Kerjaan beneran? Kok bisa barengan gini?" tatap Cynthia penasaran.

Tangan Aimi sudah mencubit Cynthia kesal. "Maaf ya, Bang Hanif."

Hanif berdiri dan mengangguk. Dia mengambil mantel yang dia sampirkan di kursi dan topi di meja. Kemudian mengenakannya bersiap untuk pergi. Mungkin ide berkeliling plaza untuk menghabiskan waktu itu lebih baik.

"Nice to see you, salam buat keluarga kalian. Have a safe flight." Tubuh Hanif melangkah keluar dari coffee shop sambil membawa kopernya.

Aimi yang merasa tidak enak langsung berjalan mensejajari Hanif. "Bang, maafin Cynthia ya."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan Mi. Saya tahu masalahnya aja nggak."

"Iya, aku tahu. Cynthia itu emang lebih ceplas ceplos."

"Ya, itu juga saya paham," langkahnya berhenti kemudian tubuhnya berhadapan dengan Aimi yang sudah terlihat serba salah. "Saya pikir saya nggak perlu menjelaskan apapun yang saya lakukan atau kemanapun saya berada ke kalian dan ke kakak kalian. Karena kita nggak berhubungan kecuali hubungan keluarga yang baik. Saya akan beranggapan ini semua nggak pernah terjadi dan kita nggak pernah ketemu di sini. Oke? Safe flight, Aimi."

Kemudian dia mulai berjalan lagi meninggalkan Aimi yang berdiri di sana. Akhirnya dia memutuskan untuk membelikan Damar oleh-oleh saja. Damar selalu suka pesawat terbang, jadi mungkin dia akan membelikan miniatur pesawat khas negara ini. Kakinya terus melangkah dan matanya menatap lurus ke depan. Dia tidak mau melihat siapapun yang tidak semestinya dia lihat atau dambakan lagi. Sikap Cynthia tadi sedikitnya membuat dia tersinggung. Ini seperti pertanda bahwa sudah saatnya dia benar-benar melupakan segalanya.

Di bagian lain Airport

"Aku nggak paham dengan kamu Raf," Dara menatap suaminya itu tidak percaya. "Kamu benar-benar kebangetan." Dia terus melangkah sementara suaminya berjalan di sebelahnya.

"Pulang sekarang atau pergi dari negara ini. Tinggal pilih salah satu. Pesawatnya sudah siap."

"Hrrrghhhhh...aku bisa gila kalau kamu lagi kumat begini. Perjanjiannya aku liburan tanpa kamu kan? Kenapa kamu rese banget..."

"Bahasamu Dara." Rafi memperingati.

"Terserah aku mau ngomong apa. Dasar menyebalkan. Aku bahkan jalan bareng adik-adik kamu dan Reyna. Kamu masih nggak percaya juga. Mau kamu apa sih?"

"Bahasamu, Sayang."

Dara menghentikan langkahnya hingga mereka berhadapan. Dia menatap Rafi marah sebelum berujar. "Waarom ga je niet gewoon hier weg? (*kenapa kamu nggak pergi aja dari sini?)"

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang