45. Uncertainty

1.9K 415 49
                                    

Tinggal beberapa part lagi ya. Enjoy while it last.

***

"Mau kemana?" tanya Faya ketika mereka mulai berkendara.

"Maunya bawa kamu ke KUA langsung. Damn, aku kalah cepet sama Mareno."

Faya terkekeh. Kepalanya menoleh sambil masih terus melajukan mobil, menikmati wajah Faya yang malam ini cantik sekali. Sampai dia harus menahan nafasnya tadi.

"Kenapa lihat-lihat?"

"Masih nggak percaya, kalau Fayadisa yang lagi duduk di sebelah aku."

"Nif, ayolah. Aku bukan tipe cewek sweet-tongue kayak gitu."

"Ya, I get that."

Mereka diam sejenak, menikmati suasana malam Jakarta.

"Apa bisa kita tunda pernikahannya?" Faya bertanya perlahan sekali.

"Apa kamu ragu?"

"Aku nggak pernah ragu kalau sudah memutuskan sesuatu."

"Bagus. Jadi kenapa?"

"Keluargaku." Faya berdecak kesal. "Maksudnya Bapak besar dan seluruh kenyataan itu. Kamu tahu, ini rasanya masih aneh banget."

Dia tertawa kecil sambil mengangguk mengerti. Melihat sendiri bagaimana canggungnya sikap Iwan Prayogo tadi di pesta. Bapak besar memang selalu diam, tapi kali ini, matanya tidak lepas memandangi Faya. Terus mengikuti kemana putrinya pergi. Ekspresinya seperti perpaduan rasa bersalah, rindu, tapi tidak berdaya. Tersiksa. Hanif baru pertama kali melihat itu.

"Apa yang kamu rasa sekarang, Fa?"

"Apapun itu sikap Bapak Besar tidak bisa diterima."

Dia melembutkan suaranya. "Fa, aku bertanya lagi. Apa yang kamu rasa? Aku nggak bilang Pak Iwan nggak salah." Satu tangan yang tidak memegang kemudi menggenggam tangan Faya lembut.

"Aku kecewa. Belum pernah aku kecewa separah ini seumur hidup aku. Bahkan aku tidak merasa sekecewa ini dengan ibuku dulu."

"Karena kamu sudah terbiasa dengan sikap buruk ibumu, Fa. Karena waktu membiasakan kamu untuk mengabaikan rasa kecewa itu. Akhirnya kamu berhenti berharap. Ketika kita berhenti berharap, sudah tidak ada lagi marah dan kecewa. Kamu jadi abai dengan ibumu dulu."

"Tapi sikap Bapak besar tetap tidak bisa dimaafkan."

"Kamu butuh waktu, Fa."

Faya menghirup nafas dalam. "Karena itu, beri aku waktu. Aku ingin membereskan hidupku yang aneh ini dulu."

"Tidak ada yang salah dan berantakan dari hidup kamu. Semua orang punya sejarah, masa lalu. Tidak semua orang menilai orang lain dari masa lalu mereka. Tapi semua orang akan melihat bagaimana kamu saat ini. Apa yang kamu lakukan saat ini. Bukan yang kemarin dulu, bukan masa lalu kamu."

Dia diam sejenak. "Pak Iwan sudah memberi restu. Kita menikah, kemudian membereskan urusan Herman sambil sembuhkan hati kamu."

***

Hanif membawanya ke safe house. Lebih tepatnya area di sekitar safe house. Dia bilang ini adalah area favoritnya sejak kecil. Bukit yang tidak terlalu tinggi tapi dari tempat itu mereka bisa melihat safe house di bawah sana, juga hutan-hutan yang mengelilingi.

Setelah perbincangan mereka yang berat tadi. Dia banyak diam, berpikir. Terkadang dia masih merasa tidak pantas, bukan ragu atas apa yang dia rasa. Karena hanya Hanif yang bisa membuatnya tertawa, atau mengacaukan konsentrasinya ketika mata coklat indah itu menatapnya. Ya, bukan ragu. Tapi apa dia pantas?

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang