26. The risk to take

1.6K 425 91
                                    

Siang itu terik sekali. Langkah Faya sedikit tergesa karena ingin cepat sampai di halte terdekat. Alih-alih angkot yang dia tunggu berhenti, sedan hitam itu membuka kaca. Wajah Aryo muncul dari balik kendali.

"Masuk."

"Gimana?"

"Masuk cepatan."

Dia masuk ke dalam mobil itu ragu-ragu. Sudah tiga hari Aryo tidak bertandang ke warung. Sedikit informasi yang dia dapat Aryo sedang melacak seseorang untuk mendapatkan dokumen itu kembali. Kemudian sekarang laki-laki itu di sini dengan buku tangannya yang lebam dan pelipis yang terluka.

"Lo sakit kemarin?"

"Dua hari lalu. Demam aja kecapekan. Itu muka kamu kenapa?"

"Baik-baik, emang ada apa?" Aryo pura-pura tidak mengerti.

"Dasar sombong." Dia mendengkus kesal.

Aryo terkekeh sesaat. "Iya, gue emang sombong. Tapi serius ini bukan apa-apa."

"Emang 'apa-apa'nya gimana?"

"Nanti nangis lagi kalau gue cerita."

"Coba cerita dulu."

"Kalau nangis gue turunin di jalan ya." Aryo memberi jeda. "Gue pernah ketembak, ketusuk pisau, koma satu minggu karena babak belur waktu awal-awal, kepala bocor..."

"Udah-udah-udah, nggak mau denger." Kepalanya dia gelengkan kuat sambil memejamkan mata.

Aryo tertawa lebar. "Tadi lo yang nantangin." Tawa itu terhenti. "Gue kangen lo. Kenapa bisa sakit sih?" Tangan Aryo sudah berada di dahinya. "Udah nggak demam bener? Udah ke dokter?"

"Bawel." Tangannya menampik tangan Aryo tapi kemudian laki-laki itu malah menggenggam tangannya erat.

"Kalau dipegang begini, nggak bakalan nangis kan?"

Suhu tubuhnya mendingin. Oke, mungkin Hanif benar dia sudah bermain terlalu jauh. Bagaimana jika laki-laki ini benar-benar menyukai Nafa. Shit.

"Nggak nangis, tapi jadi dingin." Bukannya pergi, tangan itu masih di sana menggenggamnya lebih erat lagi. Seolah ingin menghangatkan tangannya sendiri.

"Saya..." Salivanya dia loloskan. "Kamu salah sangka, saya nggak mau berhubungan dengan siapapun. Saya cuma mau sekolah dan bekerja."

"Gue setuju. Sekolah, jadi sarjana, terus kerja. Gue bisa bantu soal kerja. Gue nggak pernah sekolah, Fa. Jadi lo harus sekolah, yang bener dan yang pinter. Ngomong-ngomong buku lo masih ketinggalan di kantor."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi."

"Saya nggak suka kamu." Dia berujar cepat sebelum Aryo memotongnya.

Aryo tersenyum kecil. "Pertama, lo akan mulai terbiasa. Kedua, lo mulai mencari. Ketiga, lo mulai mau selalu ada. Keempat, lo suka atau apalah namanya itu. Kelima, lo butuh gue. Gue sabar soal beginian, sekalipun kalau soal pukul-pukulan gue nggak sabar."

"Kenapa maksa?"

"Bukan maksa, usaha. Lagian gue punya waktu buat nunggu, lo juga masih kuliah, belum bisa gue ajak kawin sekalipun udah cukup umur. Tapi gue mau lo lulus kuliah dulu."

Dia tersedak dan batuk-batuk. Okey, this is way too far.

"Ini yang bikin gue kangen sama lo, Fa." Kepala Aryo menoleh sambil menatapnya.

"Saya butuh buku saya. Tapi mau ambil sendiri." Cepat-cepat dia berujar lagi.

"Mengalihkan pembicaraan. Oke. Ada di ruangan gue. Besok pagi atau nanti malam. Apa mau sekarang?"

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang