13. Red Alert

1.6K 388 76
                                    

Kamar itu terlalu gelap, hingga matanya harus berusaha lebih keras untuk mengenali siapa laki-laki yang sedang duduk tidak jauh darinya. Dia berjalan mendekat dan makin dekat. Hingga dia sadar, dia menatap mata adiknya sendiri yang basah. Mata yang putus asa, bahkan dia bisa merasakan itu hanya dengan melihatnya saja.

Mareno duduk dengan pakaian hitam-hitam. Diam, atau lebih tepatnya, menangis dalam diam. Kemudian dia mendekati adiknya itu dan seperti semua mimpi-mimpi, sosok Mareno hilang lalu dia bangun sambil terengah di tempat tidur.

Dua tangannya sudah mengusap wajah sambil beristigfar berulang-ulang. Ini bukan mimpi yang pertama. Tapi kenapa, ada apa? Apa yang akan terjadi? Kenapa Tuhan memberinya firasat mimpi tapi tidak sekaligus memberi tahu siapa yang harus dia selamatkan. Apakah adiknya? Saat ini Mareno sedang sangat bahagia. Jadi siapa?

Tubuhnya berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Setelah menghabiskan satu gelas air, dia duduk di sofa. Menatap apartemen sewaan yang berada di sebelah tempat Faya. Ya, gadis itu tidak mau menginap di markas ADS karena dia perlu berkonsentrasi untuk misi barunya. Leo masih bertugas jadi dia harus kembali tinggal di sini untuk menjaga Faya. Harus? Siapa yang mengharuskan? Dia mendengkus kesal pada dirinya sendiri.

Dua malam lalu dia sudah bicara pada Arsyad tentang mimpinya ini, firasat yang jarang sekali salah. Tapi Arsyad bilang itu tidak berarti apapun. Arsyad selalu bilang begitu. Tapi dia tahu, ada yang tidak beres sekalipun dia tidak mengerti apa itu. Sudah hampir satu minggu dia kurang tidur. Bukan hanya karena mimpi-mimpi itu, juga karena dia cemas dengan misi yang akan dijalankan Faya nanti. Ya Tuhan.

Akhirnya dia duduk di kursi piano elektrik dan mulai menyalakannya. Bermain piano selalu berhasil menenangkan pikiran. Kemudian dia mulai membelai tuts itu lembut. Tchaikovsky Op: 20, Swan Lake mengalun perlahan. Dia memperhatikan tangannya yang bergerak ke sana kemari, telinganya dimanja dengan musik yang dia suka. Kemudian perlahan matanya terpejam. Dia mengecilkan volume pada setengah bagian akhir. Paham benar ini larut malam. Ketika selesai, dia menghirup nafas dalam. Dia rindu grand pianonya sendiri dan bagaimana denting-dentingnya terasa lebih kuat terdengar jika dimainkan. Ponsel itu berbunyi ketika dia selesai, tanda pesan masuk.

Faya: Jangan berhenti, mainkan lagi. Gue nggak bisa tidur.

Dia menatap pesan itu lama-lama. Apa boleh? Apa bisa? Sebelum logikanya bekerja, tangan itu sudah membalas pesan Faya.

Hanif: Come here.

Setelah pesan itu terkirim, dahinya mengernyit marah pada dirinya sendiri.

'What are you doing? Lo sendiri yang bilang kalau lo nggak punya perasaan kan?', makinya dalam hati.

Matanya menatap pintu. Tidak mengerti apa yang dia sedang lakukan saat ini. Tapi tahu dia butuh ditemani. Setelah beberapa saat, kepalanya dia gelengkan keras kemudian dia beranjak masuk kamar. Sebelum sempat dia menutup pintu kamar, pintu depan diketuk.

'Shit.' Dia berjalan mondar mandir sejenak kemudian berdiri menatap pintu, menunggu ketukan yang kedua.

Pintu itu diam, sekalipun dadanya ribut sekali. Mungkin Faya sudah kembali. Tangannya menyentuh handle dan membukanya, gadis itu masih ada di sana. Dengan kaus putih polos dan celana hitam pendek, juga rambut hitam panjang tergerai dan wajah sama bingungnya. Faya terlihat manis sekali, seperti ketika siang tadi dia jemput gadis itu di tempat Sabiya.

"Sorry," tubuh Faya berbalik ingin kembali ke apartemennya sendiri. Tapi tangan Hanif menahan lengannya.

"Masuk."

"Gue..."

Mereka bertatapan sesaat dengan tangan Hanif masih di lengan Faya. Kemudian gadis itu menghela nafas perlahan dan melangkah masuk. Hanif mengambil bantal dan selimut di kamar kemudian meletakkannya di sebelah Faya yang duduk di sofa ruang tengah. Lalu dia kembali menuju kursi piano.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang