44. When we dance

2.1K 453 144
                                    

Mereka berempat duduk di meja makan bundar dengan taplak putih. Hanif, Mahendra, Arsyad dan juga Niko. Tamu-tamu juga duduk pada meja masing-masing di sekeliling mereka. Menatap pasangan yang berbahagia dan sedang melakukan dansa pertama. Acara malam ini berjalan lancar. Janice selalu melakukan tugas yang sempurna. Asisten pribadi keluarga mereka itu sungguh sangat cekatan, sekalipun persiapannya bisa dibilang sangat singkat.

Sejak dulu, mereka berempat diajarkan untuk bisa mengambil keputusan cepat ketika kondisi terdesak. Dibalik keputusan cepat itu, mereka akan melakukan analisa yang harus sama cepatnya. Jadi keputusan cepat, adalah bukan keputusan terburu-buru. Ya, karena terburu-buru adalah ceroboh, sementara cepat itu sudah dengan pertimbangan dan paham akan resikonya. Hanif paham saat ini, kenapa Mareno bersikap impulsif seperti itu. Sekalipun dia tetap tidak menyangka, bahwa pestanya akan secepat ini, tapi tetap saja dia setuju.

Tamu-tamu yang datang tidak banyak. Keluarga Sanjaya, lengkap. Brayuda Prayogo dan istri, teman dan sahabat Mareno terdekat, juga Danika dan Mario Damanik. Semua menatap syahdu pasangan yang sedang berbahagia itu. Mereka masih ingat, apa yang terjadi dulu. Tentang bagaimana kisah Mareno-Tania yang benar-benar terjal dan semua kesalahpahaman yang berujung bencana. Kemudian semua juga mengerti, bahwa di setiap kegelapan, akan selalu ada cahaya. Karena, lihat mereka sekarang. Saling menatap sambil tersenyum bahagia.

Pernikahan. Mungkin untuk sebagian orang, kata-kata itu seperti menakutkan. Karena ikatan, karena kesetiaan hanya untuk satu, dan juga karena banyak toleransi untuk perbedaan-perbedaan yang besar kemungkinan akan mulai muncul ketika jenjang itu dihadapi. Untuk Hanif, perspektifnya bisa benar-benar berbeda.

Ikatan. Apa yang lebih baik, daripada mengikat seorang wanita yang dia cinta? Memberi tahu pada semua orang, bahwa wanita itu miliknya. Juga ditambah, ikatan itu akan membuat mereka sah secara hukum dan agama. Mereka bisa melakukan segalanya bersama, tanpa larangan dan batasan, tanpa ketakutan akan dosa. Yang terbaik? tanpa mengenakan apapun. Ya, dia laki-laki normal pada akhirnya. Apalagi membayangkan bahwa setiap pagi seumur hidupnya, wajah Faya yang akan dia lihat pertama kali. Oh, dia tidak sabar.

Bosan? Bukan tidak mungkin dan pasti akan terjadi. Tapi justru itu menariknya kan. Dia akan ditantang dengan cara-cara untuk membuat hubungan mereka seolah baru setiap hari. Memikirkan itu saja, dia sudah sangat bersemangat melakukannya. Apalagi untuk tahu, Fayadisa bukan wanita yang mudah. Hidupnya pasti akan lebih berwarna.

Bagaimana dengan toleransi perbedaan? Kita manusia yang bahkan sidik jarinya berbeda-beda, harus sudah mengerti bahwa tidak ada yang sama, serupa. Lihat dia dan Faya. Apa kesamaan mereka? Hampir tidak ada. Atau Mareno dan Tania? Oh, mereka sama-sama gila. Tapi selain itu, Mareno dan Tania juga pribadi yang sangat berbeda. Paling tidak mereka memiliki satu kesamaan, mereka mencintai pasangan masing-masing. Dan itu cukup.

Jadi, dia tersenyum bahagia melihat Mareno dan Tania di lantai dansa. Melakukan dansa pertama mereka sambil berpelukan dan tersenyum bahagia. Malam ini, sempurna untuknya. Kepalanya menoleh karena Arsyad berdiri.

"Mau kemana, Bang?" tanyanya.

"Gue nggak nyaman." Arsyad memang terlihat sedikit resah.

Kemudian mereka mendengar suara MC yang sudah mempersilahkan tamu-tamu lain jika ingin berdansa. Dia juga berdiri. Beberapa tamu sudah mulai mengajak pasangan mereka berdansa, termasuk ayah dan mama.

"Bang, ini pernikahan Mareno. Mama nggak akan setuju kalau lo menghilang."

"Iya Bang, salah satu dari tujuh keajaiban dunia sedang terjadi nih." Mahendra berujar konyol.

Niko tertawa. "Syad, santai lah sedikit. Lo bisa senyum kalau habis misi. Masa muka tegang banget di pernikahan adik lo sendiri." Dia juga sudah berdiri sambil menepuk punggung Arsyad.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang