24. The Water, the Wind, and the Snow

1.8K 429 107
                                    

Sudah sepuluh menit dia berdiri di ruangan dalam ruko. Menunggu Faya muncul sambil menenangkan detakan jantungnya. Jalan mereka akan sulit, sangat sulit nanti. Apalagi dengan situasi sekarang. Dia akan disiksa oleh jarak dan perasaan cemas hebat karena misi masih berjalan. Dia paham itu, karenanya dia ingin benar-benar bicara dengan gadis ini.

Fayadisa muncul dengan penampilannya seperti dulu. Rambut dikepang satu tinggi, sorot mata tajam yang dingin, tubuh berbalut pakaian yang biasa dia kenakan di ADS. Apapun yang gadis itu kenakan, dia tetap sudah jatuh ke pesonanya.

ADS menyediakan dua alat transportasi dan beberapa persediaan senjata yang peti penyimpanannya hanya bisa di akses oleh orang-orang tertentu. Dua alat transportasi itu disembunyikan di lantai bawah ruko. Bangunan ini juga sudah di modifikasi agar memiliki garasi yang memadai. Hanif memilih naik ke atas Ducati hitam daripada mobil pabrikan eropa yang anti peluru.

Faya menggeleng. "Gue nggak mau dibonceng."

"Naik, saya masih bos kamu."

Gadis itu menggeram kesal tapi tidak membantah. Akhirnya naik ke atas motor dan Hanif langsung melaju. Mereka berkendara dalam diam karena masih sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Di apartemen Hanif

"Ini apartemen lo?" Matanya menatap ke sekeliling ruangan apartemen mewah itu.

Mereka melangkah masuk dengan Hanif yang berada di depan.

"Ya. Nggak jauh lokasinya dari kantor Herman jadi lebih baik di sini." Hanif membuka jaket dan meletakkan helm hitam di buffet ruang tamu. Kemudian dia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman.

"Sebenernya kalau cuma mau ngomong, bisa dimanapun. Nggak perlu juga lo ngajak gue ke sini." Dia melakukan hal yang sama. Melepas jaketnya dan meletakkan helm di sebelah helm Hanif.

Laki-laki itu sudah duduk di sofa ruang tengah sambil meletakkan dua botol air mineral di meja. Kemudian dia juga menyusul untuk duduk di hadapan Hanif sambil menguatkan diri dan mematikan hatinya yang sempat hidup tadi.

"Kita bicara." Hanif berujar sambil menatap matanya. Tubuh laki-laki itu sedikit condong ke depan.

"Pertama, kita lupakan soal tadi." Dia langsung menyambar cepat. Ya, dia ingin ini cepat berakhir. Dua sikunya sudah bertumpu di lutut dan dia juga mencondongkan tubuhnya ke Hanif. Agar laki-laki itu paham bahwa dia tidak terintimidasi.

"Nggak setuju. Justru kita mau bicara soal itu."

"Apa ada kabar dari Mahendra soal penyadap yang gue berhasil pasang?" Menghindari topik rasanya lebih baik.

"Itu urusan kami. Yang mau diluruskan sekarang adalah urusan kita berdua."

"Kita?"

"Ya. Harusnya pendengaran kamu baik kan? Jadi apa yang tadi saya..."

"Stop, gue maafin lo karena sudah kelepasan. Tapi gue Fayadisa Sidharta, bukan Nafa Oktavia. Mungkin tadi lo lihat sosok Nafa mangkanya lo begitu."

Hanif terkekeh kecil. "Kamu pikir saya nggak tahu diri saya sendiri? Saya bukan anak baru kemarin sore yang masih cari jati diri dan nggak bisa bedain apa yang saya rasa."

Mata coklat itu menatapnya dalam, mencari sesuatu. Kemudian dadanya mulai bereaksi lagi. Apalagi semua harum yang menguar dari ruangan ini membuat dia seolah dilingkupi oleh wangi Hanif. Reaksi tubuhnya adalah berdiri. Ini berbahaya untuk hatinya.

"Oke, kita sudah selesai bicara."

Dia mengambil helmnya dan berjalan cepat-cepat ke arah pintu. Tapi pintu itu terkunci. Shit. Dia lupa bahwa apartemen pribadi Hanif pasti sudah terpasang seluruh teknologi keamanan ID Tech dan ADS.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang