8. No Option

1.6K 379 56
                                    

Iwan duduk diam di kamar. Dia sudah menyelesaikan apa yang harus dia lakukan pada Wongso sekalipun kali ini dia kelepasan karena akhirnya dia membunuh si brengsek itu terlalu cepat. Rajata juga sudah mengirimkan pesan ke penguasa daerah lain. Untuk memperingati mereka, bahwa dia kali ini tidak main-main. Jika penyelundupan itu akan terjadi dan barang yang datang benar-benar senjata, maka ini perkara besar. Bukan hal sepele lagi. Senjata bukan sesuatu yang gampang dimusnahkan. Terlalu menarik, terlalu berharga dan menggoda. Bahkan untuk polisi sendiri.

Dia juga sudah meminta Rajata mengawasi Fayadisa di MG. Gadis pemberani yang tidak takut mati. Dia ingat benar bagaimana mata hitam kelam itu menatapnya. Tidak ada ketakutan sama sekali, padahal pisau itu sudah menancap di dada dan dia bisa mati. Gadis ini berbeda, ya dia tahu itu karena dia tahu siapa Fayadisa. Ponselnya berbunyi.

"Pak," suara Rajata di sana.

"Bagaimana?"

"Operasi selesai dan sukses, tapi Faya belum bangun."

"Kabari saya lagi nanti."

"Baik."

***

Hanif kembali ke MG setelah pulang sejenak untuk berganti pakaian dan bebersih diri. Arsyad dan Mahendra juga sudah di sana. Mereka berada di ruangan dokter Reyn. Dokter kawakan itu sedang menjelaskan kondisi Faya.

"Operasi berjalan lancar dan waktu kejadian memang langsung ditangani." Dokter Reyn diam sejenak. "Faya ini berbeda, kalian pasti tahu maksud saya."

"Ya, dia selalu tangguh," ujar Arsyad.

"Keinginan hidupnya kuat kali ini, berbeda saat saya pertama bertemu dia dulu. Tubuhnya yang prima juga sangat membantu proses pemulihan. Entah kenapa Pram bilang pada saya dia merasa Faya juga berusaha untuk bangkit lagi. Terkadang dokter-dokter bisa merasakan hal itu ketika sedang mengoperasi. Aura Faya kuat sekali, persis seperti kamu Syad. Atau Iwan, atau Brayuda. Aura kalian sama. Bedanya yang ini perempuan."

Dokter Reyn melanjutkan. "Tapi, dia benar-benar nggak takut mati dan itu berbahaya. Kejadian ini bisa terus berulang apalagi kondisi saat ini sedang panas. Nyawa dia dan kalian sedang jadi taruhan, tidak aman. Perlu diingat, Faya tetap seorang perempuan. Batasan kekuatan fisiknya tetap berbeda. Kalian punya serum dari Mahendra untuk membantu pemulihan. Faya tidak punya. Jika terjadi hal berbahaya lagi padanya, bisa berakibat fatal. Tubuhnya sudah melalui banyak trauma karena misi-misi kalian."

"Dia masih muda," ujar Arsyad.

"Ya benar. Tapi lagi-lagi ingat Arsyad, Fayadisa itu perempuan."

"Dia akan mengamuk kalau posisinya saya ganti."

Dokter Reyn tersenyum. "Saya juga mengerti itu. Kalau gitu, bangun kesadaran dia untuk bertahan dan tidak langsung menerjang bahaya. Saya paham benar itu gayanya siapa." Matanya menatap Arsyad dalam.

"Syad, peringatan ini bukan hanya untuk Faya. Tapi juga untuk kamu." Tubuh dokter Reyn condong ke hadapan Arsyad. "Takut mati itu baik, untuk menjaga kamu tetap hidup, jadi kamu waspada."

Arsyad tersenyum. "Dok, sepertinya saya sudah mengerti itu. Mungkin ingatkan Faya saja Dok."

"Saya paham kamu sangat mengerti soal itu. Saya hanya mengingatkan. Karena terkadang kita semua butuh diingatkan. Jangan letakkan semua di bahumu Syad. Pikirkan bagaimana yang lain kalau kamu celaka."

"Saya setuju," Hanif menatap abangnya. Hanya dokter Reyn yang bisa menasihati Arsyad perihal ini. Karena orangtua mereka tidak tahu, karena mereka semua tidak akan didengarkan Arsyad, dengan dokter Reyn berbeda. Arsyad mendengarkan dan diam. Seperti ketika mama bicara soal hal yang lainnya.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang