7. The Fight and Your Bestfriend

1.9K 373 43
                                    

Iwan melepas jas mahal itu dan melemparkan begitu saja ke pinggir jalanan. Anak buahnya berada di belakang, sementara Rajata berada di sisinya. Matanya menatap Wongso dan kacung-kacungnya dihadapan mereka. Rokok yang sebelumnya dia hisap kuat sudah dia matikan dengan kaki. Kemudian kedua tangannya menyingsingkan lengan kemeja hitam yang dia kenakan. Memperlihatkan tato yang melingkari tangan.

Terkadang, turun lapangan diperlukan. Satu, agar para kunyuk ini mengerti bahwa dia masih hidup dan mampu mendisiplinkan mereka. Dua, ini sangat menyenangkan. Adrenalinnya terpacu dan itu membuat hatinya senang. Dia seperti kembali muda lagi.

"Bang, kenapalah lo mesti ikut campur?" ujar Wongso dihadapannya serba salah.

Dia tersenyum miring. "Saya senang ikut campur. Jadi kapan barangnya datang?"

"Gue nggak tahu, Bang."

Iwan tertawa geli. "Nggak tahu, area lo yang punya Pelabuhan, bego. Dikasih berapa?"

"Bang, gue nggak terima apapun. Sumpah."

Dia tertawa lagi. "Habis ini lidah kamu, saya potong."

Tubuhnya berjongkok mengambil segenggam tanah di bawah. Ini selalu dia lakukan sebelum mulai menghantam. Merasakan bumi yang dipijaknya, meminta bumi membantunya atau menutupi jejak darahnya nanti. Kemudian dia berdiri lagi.

Dia menarik nafas dalam. "Satu kesempatan lagi, kapan kapal itu datang? Dan siapa orangnya?"

"Bang, gue udah bilang..."

"Suhandi menghubungi saya, jadi sudahi sandiwara murahan kamu."

Kemudian Wongso tertawa kecil dan menghela nafas. Ekspresi wajahnya berubah 180 derajat. "Keparat tua, lo tahu gue nggak akan ngomong. Dia kasih lebih banyak dari yang lo kasih. Oh salah-salah, lo nggak pernah kasih apa-apa."

"Menjabat tanpa upeti, saya pikir saya sudah cukup murah hati. Tapi bangsat serakah seperti kamu, tetap ingin lebih rupanya. Bagus."

"Dia yang akan berkuasa nanti. Lo pensiun aja sana," Wongso meludahkan salivanya ke tanah dan itu membuat Rajata murka.

Tidak ada yang boleh menghina Iwan Prayogo dihadapannya. Jadi Rajata yang lebih dulu berlari maju di susul dengan anak-anak buahnya.

Pertarungan sengit di salah satu area Utara kota tidak bisa dihindari lagi. Dia pun sudah bergerak dan bersenang-senang sambil terus menghantam. Tubuhnya bergerak dan langsung mencari yang dia tuju. Wongso, bedebah itu.

Mereka berdiri berhadapan di antara semua carut marut perkelahian sambil saling tersenyum. Mengetahui bahwa ini yang mereka tunggu. Wongso benar-benar ingin menjajal harimau besar yang selama ini tidak pernah tersentuh. Sedangkan Iwan Prayogo hanya ingin bersenang-senang. Semua masalah yang tiba-tiba muncul beberapa bulan ini sungguh menggugah seleranya. Membangkitkan semua kenangan lama dan nostalgia. Sekalipun dia paham dia tetap harus berhati-hati karena Wongso lebih memiliki stamina.

Kemudian mereka mulai saling menghantam. Iwan memancing Wongso untuk terus bergerak dan menghabiskan staminanya. Sementara dia hanya menghindar dan menahan serangan.

'Anak muda jaman sekarang, digerogoti oleh ambisi dan emosi. Itu membuat gerakannya mudah sekali terbaca,' gumam Iwan dalam hati.

Tidak lama Fayadisa dan Leo muncul entah darimana. Kemudian rasa khawatir mulai menjalar memburamkan fokusnya. Dia tidak nyaman dengan kehadiran Fayadisa. Kenapa mereka selalu ikut campur. Tidak cukup Fayadisa, kemudian Arsyad dan Mareno Daud juga datang.

'Sialan, kenapa mereka tidak sekalian mendatangkan Ibrahim. Kenapa jadi banyak orang begini?'

Pikirannya yang sempat teralihkan itu membuat dia lengah. Wongso melempar dua pisau ke arahnya. Arsyad berlari maju dan satu pisau itu menancap di pundak belakang. Satu lagi pergi ke tempat yang dia tidak mau.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang