35. Custody

1.7K 415 98
                                    

Matanya mengerjap kemudian terkejut karena dia menatap wajah Aryo yang tidur di sebelahnya. Refleksnya melompat bangun dan memeriksa pakaian kemudian memastikan tidak ada sesuatu yang salah pada dirinya.

"Belum, lo belum gue apa-apain Fa. Sabarlah sedikit." Aryo merubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya masih terpejam.

'Dasar gila,' batin Faya.

Kemudian Aryo menghirup nafas lalu membuka mata. Dua tangan dia jadikan bantalan sambil menatap Faya yang berdiri. Tubuh liatnya bertelanjang dada tapi masih mengenakan celana panjang hitam.

"Lo nggak mandi, lo nggak makan. Mau lo apa?" tanya Aryo ringan.

"Pergi dari sini."

"Itu terlalu banyak. Leo sudah selamat, itu hadiah buat lo. Dan keberadaan lo di sini, adalah hadiah buat gue."

Kenyataan pahit itu masih sulit untuk Faya terima. Dia berusaha untuk menjernihkan pikiran dan menyusun rencana. Sekalipun tempat ini benar-benar seperti benteng dan dia belum menemukan jalan keluarnya. Kemudian Faya menggeser kursi hingga menghadap ke jendela tanpa tirai, menatap keluar.

"Ini baru satu hari. Lo akan ada di sini selamanya. Lo nggak mau makan selamanya juga?"

Mulut Faya diam, bungkam. Karena pikirannya terbang melintas langit yang dia tatap di luar sana.

"Lo tahu, betapa marahnya gue karena lo bohongi? Apa lo pernah suka sama orang dan dibohongi sama orang itu habis-habisan?"

Melihat Faya yang diam, dia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur yang dekat dengan kursi Faya. Dengan mudah kursi kayu itu dia tarik dengan tubuh Faya masih duduk di sana membelakanginya.

"Lihat apa?"

Dua kaki Faya naik ke atas kursi dan dia dipeluk. Entah kenapa dia yakin Aryo tidak akan menyakitinya, sekalipun saat ini dia ingin sekali memukul laki-laki yang mengurungnya ini.

Tangan Aryo melingkar pada kursi itu dari belakang hingga ke bagian depan dua kaki Faya. Dagunya dia letakkan di bahu Faya sambil menatap ke langit luar.

"Kalau ditanya, jawab. Dasar nggak sopan," ujar Aryo lagi."Bulan purnama?"

"Gue bukan cewek romantis."

Aryo tersenyum kecil. "Sama, gue juga bukan."

"Tapi senang membayangkan ada orang di luar sana, pandang langit yang sama dan selamat, bebas, nggak dikurung begini. Bayangkan, langitnya sama, tapi kondisi dua orang itu berbeda jauh."

"Leo maksud lo?"

Faya diam saja. Paham benar, saat ini Hanif yang ada di pikirannya. Mengetahui Hanif di luar sana baik-baik saja, rasanya menyenangkan. Itu hiburan satu-satunya.

"Lo tahu, kenapa gue lepas Leo?" ujar Aryo.

"Lo pukulin dia, Brengsek."

"Ya, itu hukuman buat lo yang sudah bohongin gue."

"Menimpakan kesalahan orang ke orang lain. Bagus, sangat gentlemen."

"Gue bukan orang baik, Fa. Nggak pernah begitu. Gue nggak mungkin pukulin lo. Yang ada Leo, ya salah dia."

"Terus, kenapa dilepas?"

"Karena dulu, dia sudah pernah jagain lo habis-habisan. Begitu kata informan gue. Dan menurut gue sekarang, Leo datang bukan karena perintah Arsyad. Tapi atas kemauannya sendiri, karena dia khawatir sama lo."

"Dia selalu jadi orang bodoh, yang rela dipukuli. Dari dulu." Faya tersenyum tipis mengingat Leo.

Aryo menatap Faya dari samping, masih pada posisinya. Gadis itu tersenyum tipis dan terlihat cantik sekali. Jika sebelumnya dia merasa bahwa dia suka dan tertarik pada Nafa, saat ini dia yakin, dia jatuh cinta pada sosok Fayadisa. Gadis dengan api di matanya.

Only if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang