/13.11.18/ ○ 07:05

5.5K 841 515
                                    

¦ i kinda get it now¦

Di sepanjang perjalanan, Ron memacu motornya dengan gelisah. Kucuran pikirannya bahkan lebih deras daripada hujan yang diterobosnya.

Anjir anjir si Riko kenapa anjir.

Dasar orang gila!

Dalam rangka apa dia datang-datang pengen jemput gua anjir?!

Dan kenapa dia ngeliatin gua kayak gitu?!

Otaknya pasti pesong. Pasti.

.

-ASTAGA MOBILNYA TADI LECET GA YA?! KENA KOMPENSASI BERAPA GUA ENTAR ARGH.

.

Ron mencoba fokus tetapi sulit. Padahal berbahaya berkendara di jalan raya dengan pikiran yang berseliweran. Syukurlah ia tiba di sekolah dengan selamat pukul tujuh lewat lima.

Begitu mengecek ponsel, ia menghela napas lega karena melihat riwayat obrolan teman-teman sekomplotannya. Sebentuk pemahaman akhirnya bisa diterima oleh akal sehatnya.

Namun, sejujurnya ia masih tidak bisa tenang. Matanya memandangi pintu kelas. Awas terhadap kedatangan Riko. Menduga-duga bahwa pemuda itu akan langsung mencengkram kerah bajunya begitu tiba nanti.


"Halo, satisfying banget ya bikin lecet mobil orang."

Itu yang dibisikkan Riko begitu menyelesaikan hukuman berdiri di depan kelas berhubung ia (dan empat orang lainnya) datang terlambat.

Ron bergidik tetapi ia hanya diam. Berdiri untuk membiarkan Riko masuk ke kursinya yang berada di samping jendela.

Ketika Ron memberanikan diri untuk menatap pemuda itu, jantungnya seperti berhenti berdetak. Kilatan di mata Riko seolah ia ingin menelan Ron hidup-hidup.

Mampus.

Separah apa memangnya lecetnya anjiir? Jangan-jangan sampai penyok?! Tapi nggak mungkin lah anjir. Nggak mungkin.

Ron bersumpah dia akan melipir kabur dari Riko ketika jam istirahat dan pulang sekolah nanti. Namun, begitu sekolah bubar dan ia sudah selamat sampai ke parkiran motor, pikirannya kembali mendua.

Ia merasa bertindak seperti pengecut. Kenapa juga ia harus takut pada Riko? Takut diminta ganti rugi? Takut dipukul?

Lagi pula jika ditilik, Riko sebenarnya bukan tipe orang yang akan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Pemuda itu tidak akan mengayunkan tinjunya jika bukan karena lawannya yang duluan memulai.

Ron melirik baret pada spakbor motornya. Kemudian mendecih. Langkahnya berbalik, menuju parkiran mobil.

Ketika Ron menemukan mobil Riko, pemiliknya belum ada di sana. Ron melihat ke kiri dan kanan sebelum kemudian mengecek muka mobil. Meringis melihat coreng-moreng keperakan di dekat roda. Well, setidaknya itu tidak separah yang ia bayangkan.

Ron berjongkok. Jemarinya menyusuri goresan-goresan itu.

"Gimana? Bersedia ngedempul mobil gua, hm?"

Shit.

Batang leher Ron sempat kaku sebelum perlahan ia mendongak. Riko telah berdiri di dekatnya dengan senyum masam. Sialnya, pemuda itu kemudian ikut berjongkok di sampingnya.

"Lu liat karya lu nih."

Ron kelabakan. Memalingkan wajah. "Lo pikir cuma mobil lo doang? Spakbor gua juga lecet."

"Salah siapa coba."

Ron mengerang jengkel. "Siapa suruh lo halang-halangin gua tadi pagi!" Ia bangkit berdiri. "Lagian ini ditimpa cat semprot juga beres."

"Enak aja lu ngomong."

.

"Oke." Ron menelan ludah. "Lo ... perlu berapa?" ujarnya meski jauh di lubuk hatinya tidak ikhlas. "Terserah kalo mau lo cat sendiri atau bawa ke bengkel atau ke body repair atau apalah. Nanti ... gua bantu talangin sebagian."

.

Mendengar itu, Riko tidak bisa menahan senyum. Sebenarnya, meski Ron bersikeras menghindarinya sejak pagi tadi, Riko sendiri yakin kalau ujung-ujungnya pemuda itu akan datang padanya. Makanya ia membiarkannya saja.

Riko sudah mengenalnya dengan baik. Setidaknya, cukup baik.

Ron selalu cepat menyesali perbuatannya yang tidak tepat.

.

"Tahu nggak, Selasa yang lalu Kejora macet parah."

Ron mengerjap. Tidak mengerti. "Hah?"

Riko bangkit berdiri. "Gue ngelihat elu di depan rumah Pak Budi."

Ron kepalang bingung. Si Riko ini bicara apa? Ternyata otaknya sudah benar-benar sompek. "Siapa Pak Budi anjir?!"

Tawa Riko meledak. "Kakek-kakek yang hydrangea-nya kita colong minggu lalu," katanya kemudian.

"Namanya Pak Arif, bego!"

Oh, jadi kalian bahkan udah kenalan? batin Riko tertarik. Senyumnya melebar. "Lo minta maaf ke dia atau gimana?"

Ron mendelik. "Memangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa." Riko mengalihkan pandangnya. "Lo minta maaf atas nama gue juga nggak?"

"Minta maaf sendiri sana."

Riko tertawa saja. Membuka kunci mobilnya lalu masuk.

Ron mengernyit dalam. "Lah? Woy! Jadi ... baretnya gimana?"

"Biarin aja. Jadi kenang-kenangan."

Pintu mobil berdebam tertutup. Riko bisa melihat ekspresi bingung Ron sejenak sebelum anak itu akhirnya hanya mengedikkan bahu dan berbalik pergi.

Seolah berkata 'Oh oke, baguslah kalo gue nggak perlu keluar duit'.

Riko memandangi punggung teman semejanya itu.

.

Akhir-akhir ini, rasanya ia mulai mengerti kenapa Miranda bisa sampai jatuh hati pada pemuda itu.



A/n: Happy New Year weey! Selamat Tahun Baru 2021! Tetaplah menetapkan resolusi tahun baru meski tahu kalian akan selalu menundanya setiap tahun lmao.
(Tapi serius, siapa tahu tahun ini bakal beda kan ya~).

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang