/11.12.18/ ○ 16:54

5.5K 822 465
                                    

¦chinatown¦



Riko menyetir ke sebuah mal yang berdiri di kawasan perkampungan India dan menurunkan Rein di sana. Gadis itu punya janji temu dengan mantan teman satu SMP-nya dulu.

"Telat nih gua! Telat argh!"

"Paling temen lu juga ngaret."

Rein hanya membanting pintu mobil. Tidak menghiraukan saat Riko berseru, "Balik jangan malem banget entar gua yang direcokin! Woy!"

Begitu jok di sebelahnya lowong, Riko berujar pada Ron, "Pindah ke depan. Gue bukan sopir lo."

Dan ia tidak menyangka Ron langsung berpindah tanpa banyak bacot. Dia kira mereka harus adu mulut dulu seperti biasa.

Sementara penyiar radio berceloteh sebagai latar, Ron mulai bingung kenapa Riko menyetir berputar-putar di balai kota dan sekitaran alun-alun. Dia tahu di sini memang banyak jalan protokol satu arah. Oke, mungkin cuma perasaannya saja.

Tapi tunggu—kenapa sekarang mereka bergerak ke wilayah Pecinan?

"Lo mau ke mana, woy? Gue pikir kita bakal langsung cabut?"

"Gue mau nyari makan."

Alis Ron bertautan. Tidak habis pikir. "Jadi lo punya cukup duit buat makan tapi nggak punya sekadar goceng buat dipinjemin ke gue?"

Yaa.... Riko hanya bergumam tidak jelas dengan senyum terkulum. Bukannya ia senang mencari makan jauh-jauh. Hanya, maaf saja, ia sedang tidak merasa ingin untuk langsung memulangkan pemuda di sebelahnya ini.

Ron terpaksa mengikut ketika Riko turun dari mobil. Mereka berjalan melewati beberapa etalase aluminium yang berdiri di emperan toko-toko onderdil yang mulai tutup.

"Ngomong-ngomong, lo mau makan apa?"

"Mie balap, dibungkus."

"Buru-buru amat."

Ron mendecak. "Gue nggak lapar."

Sampai ketika menu Riko tiba, Ron tetap bersikeras tidak memesan apa pun. "Lo serius oke cuma nontonin gua makan?" tanya Riko basa-basi. Tahu persis Ron mupeng melihat ia melahap pangsit goreng. "Pesen aja kali."

Ron menghela napas. Ia akhirnya hanya meraih piring berisi sate kerang yang memang sengaja diletakkan di tengah-tengah setiap meja. "Memangnya lo ga bisa sisihkan sedikit budget makan lo buat bayar ceban ke gue?" selorohnya, dongkol bercampur memelas. "Biar gue naik angkot aja, Rik."

"Bisa sih." Riko menuang soda cap Badak ke gelas berisi es. Menunjuk piring di depan Ron. "Tapi sate yang lo makan juga udah ceban."

Ingatkan Ron untuk mencekik Riko jika mereka berada di tempat sepi nanti.

Jelas-jelas tadi si keparat itu menyuruh dia memesan seolah ingin mentraktir. Dasar sialan.

Ini tidak benar. Ron merogoh ponselnya. Mungkin sebaiknya ia naik ojek online saja. Ongkosnya memang akan mahal jika menghitung jarak dari sini ke rumahnya—tapi persetanlah. Setidaknya ia bisa membayar ongkosnya setibanya di rumah nanti.

Namun ketika Ron baru ingin membuka aplikasi, sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

Dari Miranda.

.

"Halo? Nggak bisa, Mir. Gua juga udah nggak di sekolah lagi nih. Motor gue rusak, lagi dibengkelin."

Riko hanya mendengarkan. Menebak kalau Miranda ingin nebeng pulang. Riko harus menambahkan kalau bahkan ketika ia berpacaran dengan Miranda dulu, gadis itu lebih memilih untuk pergi ke mana-mana bersama Ron. Mereka itu aneh.

.

"Lo pernah pacaran nggak?"

"Hah?" Ron baru saja menutup telepon dan Riko sudah melontarkan pertanyaan aneh. "Nggak. Nggak tertarik juga," ketusnya.

"Lo serius nggak mau sama Miranda?"

"Hah? Enggak! Harus berapa kali-—"

"Beneran?"

"Iya."

"Maksud gue, dia pinter. Cantik." Riko terjeda sebentar. "Okelah, galak dikit." Tapi untuk Riko, orang-orang galak selalu punya charm tersendiri. "Lo nggak pengen macarin dia? Sedikit pun?"

"Enggak."

"Serius?"

"Iya!"

Riko memajukan wajah, memandang mata Roni baik-baik. Tapi sepertinya pemuda itu tidak berbohong. "Lo jelas unik," putusnya. "Lo belok ya?"

Lalu kepalanya digaplok.



Wah, posisi Riko tadi benar-benar membuat Ron mampu mengerahkan pukulan terbaiknya. Ron mengibas-ngibaskan tangannya puas.

"Maksud gue," Riko mengusap-usap kepalanya, "kalau sampai gue nggak tertarik sama cewek cantik-pinter yang bahkan ngejar-ngejar gue—gue jelas bakal mempertanyakan diri gue sendiri."

"Nggak semua orang setipe sama lu, anjir."

"Apalagi kalau gue ingat-ingat," Riko tetap melanjutkan, "waktu lo panik banget nyuruh gue ngasih konfirmasi kalau lo bukan gay."

Ron sungguh ingin menimpuk Riko dengan kotak tisu. Seenaknya saja si setan itu berasumsi. "Siapa juga yang suka kalau dituduh homo?!"

"Hmm...." Riko mencelup pangsitnya ke saus. "Tapi lo bahkan pernah masuk radar si Kei—oke, gue bercanda."

Riko tahu ia harus segera berhenti sebelum Ron mencoloknya pakai tusuk sate. Ia mendengus. Kapan-kapan dia harus bilang pada Ron kalau sebaiknya pemuda itu tidak gampang merespon jika diusili. Itu hanya membuat orang semakin ingin mengganggunya.

"Gue cuma penasaran, elah."

"Bodo amat." Ron mendecih. "Gue cabut."

Ron mengernyit ketika mencoba merogoh ponselnya tetapi sakunya ternyata kosong. Ia mencoba mengingat-ingat. Sebentar—sepertinya tadi ia sempat meletakkan ponselnya di meja sebelum menabok Riko. Sial. Kapan si setan itu—kapan?!

"Riko anjir balikin hape gua!"

"Hahah, lo udah ganti password ya."





A/n: Fyi, soda cap Badak itu soda yang rasa sarsaparilla gitu sih. Bukan larutan penyegar ya wkwkw.

Dan menurut gue nih Rik, daripada suujonin orang lain mending lu introspeksi diri sendiri dulu //batuk.

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang