/01.10.18/ ○ 07:05

6.8K 1K 328
                                    

¦lemme express my gratitude¦




"Woy, Ron!"

Roni Wijaya sedang berjalan menuju kelas saat mendengar seseorang memanggilnya dari ujung koridor. Ia menoleh.

Riko.

Ron buru-buru meluruskan pandang. Sengaja mempercepat ritme langkahnya. Sialnya, Riko berhasil menyusulnya.

"Hei—"

Ck.

"—lo nolak Miranda?"

Itu yang pertama kali dilontarkan Riko ketika langkah mereka akhirnya sejajar. Nadanya sumrigah. Ron mendecak. Yakin bahwa dia akan digerecoki manusia tidak beres ini lebih lanjut.

"Lo beneran nolak Miranda, huh? Cewek itu marah-marah ke gue kemarin. Dia kira gue ngancemin lo atau semacamnya."

Ron tidak menyahut. Menoleh pun tidak.

Sayangnya, respon Ron yang nihil malah semakin membuat Riko berasumsi bahwa dugaannya benar. Pemuda itu terkekeh, langsung merangkul bahu Ron sok karib. "Lo baik banget, astaga. Lo baik banget sampai gue bigung lo itu baik apa bego. Tapi makasih."

"Berisik!" Ron mencoba melepaskan rangkulan Riko, tetapi gagal. "Gue ngelakuin itu bukan gara-gara lo."

Riko hanya tertawa. Ia mengacak-acak rambut anak itu. "Lo udah sarapan belum?"

"Udah!"

Riko mengabaikan. "Kuy, gue traktir."

"Nggak perlu. Minggir lo."

Riko tidak terlalu peduli. Ia semakin mengeratkan rangkulan lalu mendekatkan wajahnya pada Ron. Bertanya dengan nada sok rahasia, "Kenapa lo tolak?"

Ron mendorongnya. "Bukan urusan lo."

"Biar gue tebak, kalo gitu." Riko memasang ekspresi pura-pura berpikir. "Hmmm ... lo nganggep dia cuma sebatas tetangga ya?"

Ron masih berusaha untuk lepas dari rangkulan Riko. "Jangan sok tau!"

"Lo neighbourzone-in dia, ya? Haha."

.

"Neighbour—apa?"

.

"Yo, Zef."

Riko menoleh dan mendapati pemuda jangkung itu sedang berjalan di belakang mereka.

"Si Ron nolak Miranda cuy, karena dia menganggap kalo mereka cuma sebatas tetangga," jelas Riko ceria.

Zefan mengernyit.

"Udah gue bilang jangan sok tau!" ronta Ron. Masih gigih mempertahankan diri di tengah langkah mereka yang terseret-seret. "Lepasin guee!"

Ron mencoba berpegangan pada salah satu pilar di koridor. Namun, pegangan itu terlepas karena Zefan—dengan tampang iseng-iseng berhadiah—memukul jemarinya.

"Zefanjing!"





"Lo beneran nggak mau gua traktir?" tanya Riko seraya menyendok nasi goreng yang menjadi sarapannya.

Ron berhasil diseret ke kantin. Namun, pemuda itu menolak untuk memesan apa pun.

"Ayolah, gue nggak bakal ungkit-ungkit ataupun nagih kembali kebaikan gue di kemudian hari—kalau itu yang lo takutkan."

Ron mendelik. "Gua kenyang—"

"Kereta api mau lewat. Buka terowongan."

Ron langsung memalingkan kepalanya sembilan puluh derajat begitu Riko membawa sesendok nasi goreng mendekati mulutnya.

"Tut tut tuuut...."

"Apaan sih lo, setan!"

.

Sementara Zefan—yang juga ikut sarapan dan duduk di seberang kedua orang itu—hanya bisa mengunyah coffee bun dengan pikiran bahwa ia ingin segera pindah meja.

"Lo berdua sinting ya."

.

"Si Riko yang sinting!" sengit Ron.

"Isi bensin dulu. Buka mulut yang lebar."

Ya Tuhan Yang Maha Esa

Ron tak henti-hentinya menyumpah dalam hati. Tidak menyangka bahwa Riko sampai jatuh gila hanya karena mengetahui bahwa akhirnya ia masih punya peluang untuk mendekati Miranda.

Berusaha mengumpulkan kesabarannya, Ron berkata, "Dengar. Gue udah sarapan. Gue kenyang. Dan gue nggak butuh tra—"

Riko dengan kurang ajarnya langsung memasukkan sendok nasi goreng ke mulut Ron.

"—Hikho anyheng hanghat hehan—"
[Trans: "—Riko anjing bangsat setan—"]

Riko terkekeh geli mendapati ekspresi syok Ron. "Kunyah," katanya.

Dengan susah payah (dan sambil memelototi Riko dengan dendam setengah mati), Ron mengunyah dan menelan gumpalan nasi goreng di mulutnya. Lambungnya bahkan rasa-rasanya tidak ikhlas mencerna makanan itu.

Ron masih melotot. "Udah gua bilang, gua kenyang!"

"Kalau gitu pesan makanan ringan aja deh," sahut Riko santai. Sangat terhibur melihat segala kedongkolan Ron. "Lo mau apa? Pisang krispi? Permen kenyal-kenyal? Beng-Beng edisi gombal?"

"Gue mau balik ke kelas."

"Jangan dulu." Riko langsung menarik pergelangan tangan Ron ketika pemuda itu hendak beranjak dari bangku. "Biarkan gue mengungkapkan rasa terima kasih gue."

"Nggak perlu! Gue mau balik ke kelas!"

"Dan pertama-tama, gue mau minta maaf karena sering jahatin lo."

"Lepasin!"

Zefan menatap jenuh pada kedua orang yang tengah tarik-tarikan sambil ngebacot di hadapannya. Ia memutuskan untuk cepat-cepat menyudahi sarapannya. Meremas kantung kertas rotinya lalu beranjak. Menyeringai melihat Didi melintas tidak jauh dari tempat ia berdiri.

"Woy, Di."

"Hah?"

"Gua liat lo tadi di tukang bubur ayam depan komplek."

Didi menelan ludah.

"Gue heran kenapa lo masih ngantin lagi. Ngapain aja lo tadi?"

"N-nggak ngapa-ngapain!"

Zefan masih terus menyudutkan dengan senyuman iblisnya. "Tukang buburnya mau?"

.

Didi menyerah. "Ck, nggak."

.

"Pfft."

"Padahal mau gua bayarin juga."

"—haHAha."

"Berisik!"







A/n : Baru dua minggu vakum menulis dan saya harus membaca-baca chapter sebelumnya untuk berkenalan lagi dengan karakter-karakter di sini:(

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang