/02.12.18/ ○ 14:44

5.5K 822 839
                                    

¦we are on the same boat¦




Pantai itu terbilang sulit diakses. Mereka harus melewati jalan yang sempit dan borokan, belum lagi berlumpur. Namun begitu akhirnya tiba di destinasi, perjalanan sulit tadi setidaknya terbayar.

Area rerumputan sarat pohon ketapang melandai menuju hamparan pasir putih terbuka yang menghadap langsung ke Selat Malaka. Di perairan, puluhan kapal mengembangkan layar-layar berwarna cerah. Mereka terlihat seperti rombongan sirkus keliling via air.

Kenduri laut seharusnya sudah dimulai menjelang siang tadi. Ada serangkaian prosesi yang dijalankan. Riko baru tahu—kalau kerumunan kapal-kapal kecil tersebut berisi para turis yang ingin menyaksikan pelarungan kepala kerbau—ketika seorang anak nelayan menawarkan perahunya pada mereka di bibir pantai.

"Murah aja, Bang! Ayo! Mumpung mereka masih berdoa. Sebelum sesajennya selesai dihanyutkan!"

Zefan melirik skeptis pada sampan kecil tersebut. Di belakangnya terdapat mesin tempel yang rasa-rasanya mirip mesin pemotong rumput. "Kuat nih ngangkut enam orang? Tujuh tambah elu."

"Kuat, Bang! Aman!"

"Heh, aman-aman aja lu."

Pemuda itu hanya tercengir lebar. Umurnya tidak tertebak. Pembuluh darah timbul-tenggelam di sepanjang hasta. Kulit sawo seksi membungkus otot bisep sampai terbenam di ujung lengan kaos yang digulung. Bajunya setengah basah, menguarkan aroma lautan.

Ngomong-ngomong, narasi di atas diambil dari sudut pandang Kei—yang langsung melompat ke sampan kayu.

"Oke! Kita lepas landas!"

Sampan didorong agak ke tengah. Kemudian motor ditarik. Bunyinya luar biasa berisik. Tapi itu tidak mencegah Kei mendekat ke kemudi untuk berbasa-basi. "Di sini ada hiu, nggak?"

Si bocah nelayan tersenyum meringis. Seolah sering mendengar pertanyaan serupa setiap tahun. "Kalau masih di kedalaman segini harusnya enggak, Bang. Err, tapi memang jarang juga saya lihat hiu di sini."

"Ah, masa sih."

"Bener, Bang. Paling terkadang adanya buaya laut, itu juga kalau kemarau. Soalnya nggak jauh dari sini ada muara."

Menarik. "Lo sering dideketin buaya laut?"

"Enggak?" Si bocah mengernyit. "Memang pernah ada nelayan yang diserang buaya, Bang. Tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu." Dia kemudian menjelaskan bahwa penyerahan sesajen (selain untuk mengucap syukur) juga dilakukan untuk menolak bala.

"Nah, biar gue kasih tau kalo sajen doang ga cukup buat mengantisipasi buaya dar—argh."

Kei menggaplok kepala Tegar dengan senyum yang tak kunjung luntur. "Eh btw nih, umur lu berapa?"

"Lima belas, Bang."

Whoa, lebih muda.

"Sekalian kenalan aja kalo gitu. Gue Kei. Nama lu siapa?—ah biar gue tebak. Samudera? Bahari?" Kei menyeringai. "Maaf tapi lo menguarkan aroma yang sangat oceanic."

"Mungkin karena Abang memang lagi di laut."

Sementara Kei kebat-kebit karena terus-terusan dipanggil  'abang', Tegar yang duduk tepat di depannya menahan diri agar tidak mengakak. Ia memberi kode berupa tatapan geli pada Riko di ujung depan dek sambil menjorokkan dagunya ke arah Kei.

Namun Riko hanya mengangkat bahu. Biarin si homo ngehomo.







SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang