/22.12.18/ ○ 10:10

5.3K 831 682
                                    

¦understanable, have a nice day¦



Riko tidak mengerti kenapa bisa-bisanya jam tangan dan dasi Roni menyempil di ranselnya. Ada juga kaos kaki—sepertinya milik Tegar. Mungkin ini akibat ia asal saja meraup barang di meja ketika meninggalkan waterpark kemarin. Sebenarnya Riko bisa saja mengembalikan jam itu kapan-kapan. Namun, pada akhirnya dengan itikad baik ia mendatangi rumah Ron.

(Lagipula, dia memang kurang kerjaan).

Lalu berpapasan dengan Tuan Wijaya senior ketika hendak membuka selot pagar. Pria paruh baya itu tampak ingin mengeluarkan motornya. Dahinya mengernyit samar saat melihat Riko. Butuh beberapa detik untuk mengingat sebelum kemudian menyeletuk, "Kamu yang kemarin itu, bukan?! Temannya Ron?" Ia menjentik-jentikkan jarinya. "Siapa itu namanya—"

"Riko, Om."

"Nah iya!" Satu jentikan pemungkas. "Itu mobil kamu? Bumper depannya lecet-lecet begitu. Habis nyerempet apaan kamu?"

"Kemarin diserempet becak depot, Om."

"Sayang banget, nggak dipoles itu?"

Riko tertawa garing. "Entaran aja mungkin."

Pria paruh baya itu manggut-manggut. "Motor saya juga nih baretan. Tapi kalo mau ngedempul memang butuh banyak vitamin D sih."

"Vitamin D?"

"Duit. Huahahaha!"

"Hahaha." Riko lupa kalau ayahnya Ron suka bercanda. Terakhir kali pria itu bergurau bahwa ia takut anaknya diapa-apakan oleh Riko. "Izin masuk, Om?"

"Oh iya, silakan. Nggak perlu takut kena KUHP 551, haha! Nyari Roni kan? Dia di belakang, lagi manen rambutan. Saya mau pergi dulu sebentar, ada urusan."

Pria itu akhirnya menstarter motornya dan melesat pergi. Riko selalu heran kenapa bisa Ron yang berwajah mutung punya ayah ceriwis seperti itu. Tipikal bapak-bapak santai nan gaul yang bio di Facebook-nya merupakan pemilik saham mayor di PT. Mencari Cinta Sejati.

Riko masuk ke dalam rumah, langsung menuju halaman belakang. Benar saja, di sana ia bisa melihat Ron sedang mencucuk-cucukkan galah ke dedahanan pohon. Di atas meja rotan di teras belakang, sudah ada setumpuk buah rambutan merah menggoda.

"Woy! Gua minta ya!"

Riko menyaksikan—bahu Ron melonjak. Kemudian membeku. Anak itu berbalik kaku, menatapnya horor. Galah bambu langsung siaga, tersilang di depan dada.

Terkadang Riko penasaran, memangnya apa yang pernah ia lakukan sampai-sampai Ron merasa perlu sebegitu auto-defensif setiap kali ia menjangkau jarak ... well, tiga meter?

"Bagi satu." Riko menyingkirkan semut-semut di kulit rambutan tapi tangannya keburu dipukul dengan galah. "Agh, sakit anjir!"

"Itu punya gua. Kalo lu mau, ambil sendiri."

"Ya udah, pinjem galahnya."

"Manjat lu anjing."

"Elah, parah banget setan."

"Argh!" Ron mengerang ketika Riko menahan ujung galahnya dan berusaha menariknya. "Lagian lu ngapain ke sini?!"

Riko akhirnya melepasnya. Tersenyum lebar. "Ngapel."

Ron berjengit luar biasa. Hampir refleks menombak Riko dengan galahnya. Namun, tidak.

Tidak, tidak.

Ron menggeleng. Ia harus berpikir positif. Berpikir yang masuk akal. Ah, rumah Miranda! Mungkin maksud Riko, dia habis ngapel dari rumah Miranda.

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang