31 Juli

4 2 1
                                    

Help me if you can, I'm feeling down.

And I do appreciate you being 'round.

Help me get my feet back on the ground.

Won't you please, please help me?

(The Beatles – Help!).


Aku tidak memprediksi hal ini. Ternyata kalau sahabat punya pacar, ia bakal sibuk banget sama hubungannya. Bahkan tugas presiden yang mengurus negara dan segala tetek bengeknya bakal kalah. Waktu dua puluh empat seakan kurang. Dan hal ini terjadi ke Axel.

Lagi-lagi di jam istirahat, Akila sudah menunggu di daun pintu kelas. Kalau bisa, mungkin sudah nongkrong di depan hidung Axel. Kadang-kadang, Axel yang nyamper ke kelas IIS 1. Kurang kerjaan banget, sih. Sayangnya, cowok itu tak lagi mau mendengarkan perkataanku. Ia terlalu membanggakan hubungannya yang masih hijau tersebut.

Kini, harusnya aku sudah tahu kalau Axel bakal pulang bareng Akila terus. Terbukti dari kejadian kemarin dan kemarinnya lagi. Mereka pulang berdua.

Namun, karena bodoh, aku malah mengecek parkiran. Kali saja Axel ke sana duluan karena harus memperbaiki bagian motor yang dirasa kurang sreg. Sayangnya, ekspetasi tak sesuai kenyataan. Bagai si buta membilang bintang di langit. Melakukan pekerjaan yang sia-sia.

Sia-sia karena Axel dan motornya sudah tak ada. Sekarang aku menunggu di halte depan sekolah. Berharap dapat angkot yang tak penuh, satu-dua orang tak masalah. Lebih baik lagi kalau angkotnya enggak ngetem ngejar sewa. Sebab, rasanya rumah berjarak ribuan tahun cahaya kalau menunggu lama.

Setelah lima belas menit berlalu, angkot yang ingin kunaiki tak kunjung lewat. Selalu begini, yang dibutuhkan malah susah dicari. Giliran enggak butuh malah pada datang. Hanya bajaj, bus, motor, mobil pribadi dan angkot jurusan lain yang hilir mudik. Sesekali para angkot itu memencet klaskson, berharap aku naik. Seandainya para supir angkot bisa membaca pikiran, mereka tak perlu melakukan hal begitu.

Aku berdiri sambil bergantian bertumpu pada kaki kiri dan kanan. Sesekali mondar-mandir. Oh, ya, alasan aku tidak bisa duduk di bangku besi halte karena penuh. Orang-orang itu seakan tidak mau melepaskan pantatnya dari bangku. Lagipula, kalau duduk, angkot yang kutunggu dan jarang lewat ini bakal melintas begitu saja tanpa bisa kucegah terlebih dahulu.

Sambil memainkan tali tas, aku mengamati jalanan dari arah timur. Ke mana angkot saat dibutuhkan? Matahari mulai tergelincir di ufuk barat karena langit mulai kekuningan. Kalau berdiri begini terus, mungkin bisa sampai bintang muncul di langit.

Ketika memikirkan kemungkinan terburuk itu, seseorang pengendar motor berjaket denim berjalan perlahan-lahan di lajur kiri. Wajahnya tak terlihat karena menggunakan helm full face. Tukang ojek kali, ya? Agak belagu ya pakai helm full face padahal bawa motor matic. Enggak-apa-apa. Aku stop saja, deh. Sampai rumah, biar minta Mama yang bayarin ongkosnya.

Sesaat motor itu mulai berhenti. Aku menghidu aroma vanilla bercampur tembakau. Walau samar-samar, aku seperti mengenalinya. Seketika aku tahu ia bukan tukang ojek saat ia melepas helmnya.

"Nunggu pesawat lewat sini? Enggak mungkinlah," kata Kaivan.

"Ngapain di sini?"

Alis Kaivan menggerut. "Jalanan ini udah ganti nama jadi Jalan Pevita, ya?"

"Maksudnya?"

"Buktinya aku lewat sini malah ditanya ngapain. Berarti jalanan ini udah ada lebel namanya jadi enggak boleh sembarang orang lewat. Hak milik gitu," jelasnya.

"Kamu biasanya nggak lewat sini."

"Aku lewat sini biasanya cuma kamu nggak lihat. Emang ini jalanan punya kamu sampai aku nggak boleh lewat sini?" tanya Kaivan sambil nyengir.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang