26 Oktober

6 2 4
                                    

What would I do.

To show my love to you.

Leave my whole world.

For one minute with you.

(Tony DeSare – How I Will Say I Love You)



Rasanya aneh sekali mengabaikan jurnal ini dan tidak menulis apa pun sampai nyaris sebulan. Aku pun tidak tahu kapan tepatnya hal ini dimulai. Tapi yang jelas, terjadi penyimpangan dari tujuan awal menulis jurnal ini. Mulanya hanya tentang hari-hariku menghadapi Axel. Ternyata bukan hanya cowok itu, ada Kaivan yang ikut menerjunkan dirinya sehingga masuk ke jurnal ini. Meski sampai kini, ia tidak tahu.

Ya, Kaivan selalu mengajakku bersenang-senang. Ia menuntunku untuk melewati batas monoton. Bukan hanya sekadar bermain di Game Loop. Kaivan juga mengenalkanku ke teman-teman dari luar sekolah.

Kaivan lebih memilih aktif di kepramukaan luar, dibanding di sekolah. Menurutnya, pramuka di sekolah tidak terlalu berkembang. Apalagi pembinanya yang masih terlalu muda dan egois. Ketika ia menjelaskan alasannya, aku tertawa. Bukannya ia juga muda dan tentu saja sama egoisnya? Kaivan hanya menjawab dengan tawa renyah.

Di kegiatan organisasinya, Kaivan memang tidak mengajakku karena acara serius. Tapi, saat ia mendapat kesempatan membantu mengajar di sekolah dasar, Kaivan selalu mengajakku. Cowok tersebut sangat bersemangat saat mengenalkanku ke pembinanya.

Itulah saat aku melihat sisi lain Kaivan. Kharismanya saat menjelaskan materi ke penggalang. Leluconnya ketika mengajak bermain anak-anak siaga.

Dari mengikuti Kaivan di dua sekolah, aku jadi tahu sedikit tentang pramuka. Golongan siaga itu dari kelas satu sampai tiga SD. Lalu, seorang pramuka disebut penggalang saat kelas empat SD sampai akhir SMP. Dan Karena Kaivan sudah SMA, ia disebut penegak.

Sejujurnya penggolongan itu dari usia. Tapi supaya hafal, aku mengklasifikasikannya dari jenjang pendidikannya. Seperti biasa, Kaivan tak suka gagasan itu saat aku mengatakannya.

"Tapi ada pandega juga yang mengajar pramuka di sekolah dasar. Ia disebut pandega bukan karena sudah lulus dari SMA, tapi karena usianya sudah dua puluh lima tahun," sanggah Kaivan.

"Jadi, anak yang putus sekolah, boleh tetap pramuka?"

"Pramuka merangkul seluruh orang. Ini kan pendidikan moral dan organisasi, jadi tidak terikat syarat jenjang pendidikan. Walau pendidikan di sekolah juga penting," jelas Kaivan.

Aku mengangguk-angguk sambil mencatat di kepala. Ternyata tidak sulit terjun ke pramuka, tapi juga tak mudah. Pengetahuan tentang pramukaku setara siaga kelas satu. Hanya tahu nyanyi dan menggambar. Lalu, mulai berkembang menjadi siaga kelas tiga. Mulai memahami makna dwi darma dan dwi satya.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya anak-anak SD itu bersiap pulang. Kaivan yang mengakhiri kegiatan pramuka, sementara pembinanya membimbing di sebelahnya sambil memerhatikan.

"Adik-adik, sebelum mengakhiri kegiatan ada baiknya kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai," seru Kaivan. Ia menundukkan kepala.

Aku tidak ikut berdoa. Malah mengamati peserta didik Kaivan. Ada segerombolan cowok yang cekikikan sambil memainkan ranting. Entah dapat ranting dari mana. Ada juga yang bengong. Anak-anak cewek justru berdiri rapi sambil menundukkan kepala.

"Berdoa selesai," kata Kaivan. Matanya menggembara. "Tadi kakak dengar ada yang enggak berdoa. Ayo, yang merasa belum berdoa, doa dulu baru boleh pulang."

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang