13 Juli

10 3 0
                                    

Aku sedang nongkrong di halaman belakang rumah Axel, tepatnya main ayunan di sana sambil melihat cowok itu mencuci motor. Axel kerajinan, sih. Cuaca lagi tidak menentu, ia malah bersih-bersih. Sekarang memang cerah. Siapa yang tahu sore mendung. Seperti kemarin setelah mencuci motor, hujan deras, motornya kotor karena dipakai jalan. Sekarang, ia nyuci lagi.

Sebenarnya itu motor kakak Axel, Caca. Tapi, kakaknya itu sedang menimba ilmu perkuliahan di Malang. Pulang di saat tertentu. Karena itu, orangtua Axel mengizinkan cowok itu memakai motor. Dulu, aku dan Axel naik sepeda sampai sekolah. Berkeringat pula. Sekarang, semua sudah berubah.

"Membandarkan air ke bukit," kataku mengulang kalimat kemarin.

Axel terkekeh. "Ini bukan pekerjan sia-sia. Motor bersih bikin yang bawa pede."

"Aku biasa saja."

"Karena yang bawa motornya aku, bukan kamu."

"Tapi, aku ikut membonceng di belakangmu dan aku bahkan tidak peduli warnanya pudar."

Axel cuma geleng-geleng kepala. Tangannya tekun menggosok setiap bagian tubuh motor. Busanya meleleh setiap kali Axel meremas spons. Ia membersihkan dengan bersemangat. Kerangka. Jok. Foot step. Terus berlanjut sampai spion dan bannya juga. Sesekali ia memakai sikat gigi bekas untuk bagian yang sulit dijangkau atau noda membandel.

Aku hanya melihat tanpa berniat membantu. Buat apa? Nanti cuma dibilang bikin rusak. Tempo hari saat aku tersandung selang dan menimpa tubuhnya, Axel bilang aku rusuh. Padahal ketika itu, dadaku berdebar kencang sampai aku khawatir Axel tahu. Tapi, mendengar jawabannya yang tampak tak mempermasalahkan. Ya, sudah. Aku tak mau membantu lagi. Kini, aku berhenti berayun-ayun dan hanya sekadar duduk di ayunan.

"Semoga nanti kita sekelas," katanya sambil berlalu untuk menyalakan keran. Lalu, kembali lagi dengan selang yang mengeluarkan air.

Aku mengangkat bahu. "Jangan, deh. Nanti kamu mengajakku membolos seperti tahun kemarin."

"Tapi, seru, kan? Kita makan bakwan isi di kantin tanpa ngantri."

"Ugh. Kamu sih enak. Aku yang dibilang biang keonaran."

"Mungkin mukamu mencurigakan," kata Axel sambil tergelak.

Karena, guru-guru menyukaimu. Aku ingin berkata begitu. Tapi tak enak hati. Saat kelas X, Axel sesekali mengajakku membolos. Tidak sampai absen ke sekolah, sih. Lebih serupa bolos saat jam pelajaran berlangsung. Seperti pergi ke kantin hanya untuk beli bala-bala. Mangkir ke warung es kelapa yang letaknya tak jauh dari sekolah.

Kadang kami juga tidak langsung pulang ke rumah selesai bubaran sekolah. Tapi nongkrong di pinggir jalan sambil melihat balapan motor liar. Aneh, kan?

Untuk yang terakhir, selalu membuat aku bete. Buat apa melihat orang yang ngebut naik motor? Axel hanya bilang, kegiatan itu seru. Sayang seribu sayang, aku sama sekali tidak melihat keseruannya.

Trayek balapan liar hanya satu kilometer dan berolak untuk melewati tempat pertama. Begitu terus. Tempat yang dipilih biasanya sepi lalu lintas. Hanya beberapa kendaraan bermotor yang lewat. Itu pun tidak sering. Aku juga heran kenapa Axel bisa tahu trayeknya.

Balapan yang tidak seru itu selalu berakhir saat mobil polisi datang. Axel bilang bahaya kalau polisi datang. Aku justru selalu berharap mobil polisi datang di mana pun balapan terjadi. Axel hanya merespons dengan membelikanku susu taro karena sudah bersabar menemani.

"Eh, jangan bengong di tempat orang," seru Axel sambil mengarahkan mulut selang ke arahku.

Sial. Mukaku basah. Airnya menetes dari rambut ke baju, membentuk bulatan basah kecil-kecil. Aku segera berlari ke arah Axel dan merebut selang dari tangannya. Ia melindungi diri dengan menyilangkan tangannya ke depan muka. Sia-sia, tangan dan wajahnya basah. Lalu, Axel mengarahkan selang ke arahku lagi. Begitu terus. Kami malah main air sambil tertawa.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang