20 Juli

3 2 0
                                    

20 Juli

I don't know if it's necessarily.

The things you do.

Maybe the things you say.

Or maybe just the way you say it.

(Third Day – You Make Me Mad).


Aku santai-santai di rumah. Bangun pukul sepuluh tak masalah di hari libur. Mandi dengan lamban. Makan secara rileks. Lalu kembali ke kamar untuk membaca buku.

Lagi-lagi, ketenangan itu tidak bertahan lama. Serly menerobos kamarku bersama tiga buku di pelukannya. Duh, ini yang kumalas kalau di rumah. Serly minta diajarin matematika. Aku sudah melewati kelas VIII SMP, jelas sekali aku lupa pelajarannya. Kalau pelajaran SMA kelas X masih kuingat walau samar-samar.

"Minta diajarin Mama atau Papa saja," tolakku halus.

"Kata Mama dan Papa harus nanya ke Kak Pevita," ujar Serly sambil cemberut.

Kadang Mama sama Papa itu aneh. Harusnya mereka yang mengajari, walaupun tidak kompatibel antara bahasa dengan matematika. Mereka kan guru.

Aku sering berpikir kalau guru itu tahu banyak hal. Pemikirannya bercabang dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Lalu, sekarang aku menyadari kalau itu salah. Guru hanya menguasai satu bidang studi yang sudah ditekuni. Kalau gitu, kenapa guru berharap muridnya bisa semua pelajaran kalau mereka hanya menekuni satu bidang? Tidak adil.

"Mau mengajari atau tidak?" tanya Serly kesal.

Ini keanehan lainnya. Kadang yang minta ajarin malah lebih galak dari yang ngajarin. Seolah aku mendapatkan uang jajan lebih jika mengajarkan matematika ke Serly. Sama seperti waktu anak ini kuajari himpunan dan diagram venn—yang kala itu Serly sangat tidak paham dan aku sampai overdosis menerangkan—aku tidak mendapat uang saku lebih atau ucapan terima kasih!

"Soal apa?" tanyaku sambil beranjak dari kasur.

Serly meletakkan buku-bukunya di meja belajarku. Ia duduk dan mencari posisi nyaman. Lalu, tangannya sibuk membuka buku cetaknya.

"Sebenarnya ini bukan PR, tapi tugas sekolah kemarin. Aku tidak bisa," kata Serly. "Ini soal kordinat titik pada bidang kordinat Cartesius. Tahu?"

Aku menghela napas. Masalahnya bukan cuma tidak tahu, tapi matematika terutama soal kordinat selalu berhasil membuatku pusing. Dulu, aku pikir, lulus SMP maka terbebas dari masalah itu. Sayangnya, sekarang aku mempelajari lagi hal-hal yang tak kusuka.

"Itu buku apa?" tanyaku menunjuk samping buku cetak Serly.

"Ini buku rumus matematika dan satunya buku catatan," jawabnya kalem.

Saat seumurnya, aku malah tidak pernah membeli buku rumus ini dan itu. Astaga. Ternyata Serly benar-benar tekun dan niat belajar.

Karena melihat kobaran semangat Serly, aku akhirnya mempelajari lagi kordinat dan kawan-kawannya dari dua buku utama yang dibawa adikku. Dari cara meletakkan kordinat titik, cara penulisannya sampai bidang kordinat. Baru satu bab pelajaran saja, otakku sudah berasap. Dibanding lupa, segera saja kujelaskan soal kordinat ke Serly dengan caraku sendiri.

Setelah dua jam menemani Serly belajar akhirnya selesai juga penyiksaan itu. Isinya bukan cuma belajar, tapi mengobrol soal sekolah dan kehidupan sosialnya. Ia bilang punya banyak teman. Sayangnya, teman-teman ia lebih suka memanfaatnya untuk mendapat jawaban setiap soal.

Aku pikir, itulah risiko jadi orang pintar. Dimintai jawaban seluruh pertanyaan pelajaran seakan Jimmy Neutron. Walau aku agak yakin kalau Serly punya sahabat juga seperti tokoh kartun itu.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang