19 Agustus

3 2 0
                                    

I remember when.

We used to laugh.

About nothing at all.

It was better than going mad.

From trying to solve all the probelems we're going through.

(Skillet – Those Night).


Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas ketika aku berdiri resah di pinggir jalan. Angkot yang kutunggu belum juga melintas. Ah, ya, tadi ada dan angkot itu bergerak terlampau cepat di lajur kanan. Sampai si supir tidak melihat aku melambaikan tangan. Begitu saja, aku menyaksikan kendaraan umum tersebut berlalu.

Mungkin aku akan dihukum lagi. Daftar kesalahanku akan semakin panjang di Buku Pelanggaran Siswa. Barangkali akan terakumulasi sampai nanti semester dua. Kecuali, jika pangeran datang dengan kuda putihnya. Dan itu benar terjadi, minus kuda putihnya.

Awalnya aku mengira Axel. Karena dari jauh tampak mirip. Dan sebenarnya, di mataku, hampir semua pengendara tampak serupa saat dilihat dari kejauhan. Ketika motor metic itu semakin dekat, aku melihat helm full face. Aku langsung tahu siapa orangnya.

Apa cowok itu akan mengajakku membolos lagi? Aku akan menolaknya. Sudah cukup aku dimarahin Mama dan Papa masalah Axel. Kurasa tidak perlu menambah masalah dengan terlibat bersama Kaivan.

Kaivan melepas helmnya sesaat berhenti di depanku. Ia mengusap kepalanya yang nyaris tanpa rambut tersebut. Waktu lima belas menit yang tersisa bisa kuatasi apabila menumpang di motornya. Walau aku tidak tahu bagaimana reaksi Kaivan saat aku mengatakannya. Aku belum pernah naik motor bersama cowok selain Papa dan Axel.

"Ayo, ke sekolah bersama," ajak Kaivan. "Mau pakai helmku? Aku lupa bawa helm satu lagi."

"Hah? Serius?"

"Iya. Sekalian kita bahas rangkumanmu di jalan," kata Kaivan ramah.

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung mengiyakannya. Kupaksa Kaivan untuk memakai helmnya saja. Sebab terlalu aneh jika yang membonceng justru memakai helm, sedangkan pengendaranya tidak. Kaivan memakai helmnya lagi dan memacu motornya.

Di jalan, aku bersyukur dan tersenyum semringah. Untuk kali ini, aku benar-benar berutang terima kasih pada Kaivan. Ia menyelamatkanku sekali lagi di situasi darurat.

"Catatanmu rapi banget," katanya. Suaranya yang bariton agak redam karena helm.

"Iya. Kamu sudah baca semua?"

Kaivan mengangguk. Syukurlah. Minimal catatanku berfungsi dengan semestinya.

"Pendapatan nasional artinya apa?" tanyaku mencoba mengetes.

"Pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga dengan kurun waktu tertentu," jawab Kaivan.

"Dalam lingkup satu negara," tambahku.

Selama di perjalanan, aku bertanya jawab dengan Kaivan soal pendapatan nasional. Aku senang luar biasa karena catatanku tidak sia-sia. Kaivan terbukti bisa menjawabnya. Memang tidak selalu tepat dan lancar, tapi minimal ia mengerti. Aku juga mengatakan padanya untuk berlatih soal tentang hal tersebut agar lebih paham.

Sampai di sekolah, masih ada waktu dua menit sebelum bel berdering. Kaivan tidak menurunkanku di luar pagar sekolah, malah aku ikut bersamanya sampai parkiran. Ini masalah besar. Karena beberapa pasang mata melihat kami. Sesungguhnya aku khawatir Kak Sarah juga lihat.

Bukan apa-apa. Aku menghargai perasaan yang pernah bersemi antara Kak Sarah dan Kaivan. Walau cowok itu tampak cuek saja.

Akhirnya, kami jalan dari parkiran ke koridor sampai kelas dengan diamati beberapa pasang mata. Astaga. Ini kharisma Kaivan yang tidak pernah kutahu. Ia bisa menjadi magnet jika berperilaku seperti remaja tanpa masalah. Walau aku tahu, remaja itu identik dengan beragam problem. Seperti aku dan Axel.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang