20 Agustus

8 2 0
                                    

I made my mistakes.

I've got no where to run.

The night goes on.

As I'm fading away.

I'm sick of this life.

(Simple Plan – Untitled).


Akhirnya, aku melewati hari yang penuh hiruk piruk. Bersama dengan Savannah dan Vadinda, kami berhasil menyampaikan program kerja kami ke Bu Ulfa. Program baru dengan beberapa amandemen. Keputusan akhir yakni memasukkan satu resensi buku dan satu artikel tentang buku rekomendasi ke mading setiap satu minggu sekali. Untung Bu Ulfa setuju dan akan bekerja sama dengan pembimbing eskul mading.

Setelah itu, aku berbincang berdua dengan Savannah dan Vadinda. Seluruh keresahanku tentang Axel kubocorkan semua. Savannah mendengarkan dengan tekun. Sementara Vadinda berkali-kali memotong percakapanku untuk merespons. Sampai akhirnya, aku selesai bercerita.

"Nanti hubunganmu dengan Axel akan membaik, kok," kata Savannah. "Ia emang melompat jauh tanpamu. Tapi, melompat tanpa persiapan sama saja sia-sia. Axel pasti sadar."

Aku bergeming.

"Terus, bukuku kamu pinjamkan ke Kai?" tanya Vadinda.

Aku tertawa. "Tidak. Aku cuma mencatat ulang poin penting ke buku lain. Lalu, buku itu kupinjamkan ke Kai."

"Wow. Jadi, kamu dan Kaivan dalam tahap pedekate?" tanya Vadinda lagi.

Aku mengusap muka Vadinda hingga cewek itu menjerit. "Enggak. Kami cuma berteman saja. Orangnya tidak seburuk yang kalian pikirkan. Percayalah denganku."

"Pev, jangan sampai kamu menjadikan Kai pelarian," kata Savannah.

Aku mengernyitkan kening. Ide itu jelas tidak terpikirkan olehku. Kami murni membangun pertemanan karena saling nyambung dalam obrolan. Hubungan lebih dari itu, jelas tidak masuk daftar.

"Savannah, jangan macam-macam."

Savannah menatapku serius. "Kamu dekat Kai bersamaan dengan hubunganmu yang renggang dengan Axel. Aku cuma pengin kamu hati-hati. Jangan sampai menjadikan Kai tameng atau sekadar benteng berlindung."

Kalimat Savannah sampai hari ini terus berputar dalam benakku ketika sampai rumah. Apa benar begitu? Tapi kalau pun benar, aku tidak bermaksud begitu. Kaivan pasti mengerti. Aku ragu jika cowok itu memikirkan hal yang sama seperti Savannah. Sebab, terkadang cewek tersebut terlalu berlebihan dalam menilai situasi. Sedangkan Kaivan tidak terlalu serius pada apa pun.

Aku tidak menjadikan Kai tameng atau sekadar benteng berlindung, kami murni berteman. Menuliskan kalimatku sendiri ke jurnal ternyata tak berpengaruh banyak. Aku jadi bimbang dan ragu. Memang awalnya kami memulai dengan cara yang salah. Tapi tidak mungkin sampai aku menjadikan Kaivan tempat pelarian. Cowok itu merupakan tempat berbagi yang nyaman.

Astaga. Aku baru saja menuliskan kata itu. Nyaman. Aku nyaman dengan Kaivan. Gila. Lebih baik kututup jurnal ini dan mencoba tidur saja.

Istirahatku tidak bertahan lama karena aku mendengar sesuatu, atau seseorang. Aku membuka mata dan mendapati pintu kamar terbuka serta Axel yang memegang buku jurnalku. Dan seketika aku menjerit, berlari ke arahnya dan merampas jurnal tersebut.

"Maksud jurnalmu apa, Pev?" tanya Axel bingung.

"Apa hakmu membaca jurnalku? Dan kenapa kamu masuk kamarku?" seruku sengit.

Axel menggeleng. "Aku cuma memastikan kalau novel fantasiku sudah Kai kembalikan padamu. Tapi, jurnal di mejamu menarik perhatianku. Aku membaca selembar, dua lembar dan berkelanjutan."

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang