18 Juli

3 2 0
                                    

Take care of me.

Talk all day then at night fall in deep.

Stimulate me.

I want you mental and physically.

I belong to.

I belong to you, you, you.

(Sabrina Claudio - Belong To You).


Selama tiga hari, aku hanya menyaksikannya dua orang itu—Axel dan Akila—menghabiskan waktu berdua. Tentu saja mereka berdalih keperluan OSIS. Sekarang MPLS sudah berakhir, itu artinya tidak ada alasan mereka bertemu.

Kini, Axel duduk berhadap-hadapan di kantin denganku. Raut wajahnya bahagia. Ia bercerita panjang lebar tentang kegiatan OSIS sementara aku menyendok somay. Axel sama sekali tidak menyentuh somay yang sama sekali tidak berisi somay. Ia lebih memilih meracau.

"Dua hari lalu, Akila pakai bando. Jadi makin manis," kata Axel.

"Hm. Vadinda juga setiap hari pakai bando kucing di kepalanya," sahutku.

"Ah. Itu sih biasa. Akila pakai bando pink yang kelihatan jelas di rambut panjang hitamnya. Ia kelihatan cantik dan manis gitu."

"Cantik atau manis?"

Menurutku, cantik dan manis adalah dua hal berbeda. Cantik memang sedap untuk dipandang. Tapi kalau manis tidak akan bosan dilihatnya.

"Apa bedanya?" tanya Axel dengan bodohnya.

Aku menghela napas. Ternyata kecerdasan otak seseorang bisa menurun jika sedang jatuh cinta. Aku bergidik. Mendadak aku jadi khawatir seperti itu. Apa belakangan ini aku melakukan hal bodoh ketika melihat Axel dengan Akila? Ah, rasanya tidak.

Axel tampak tidak serius dengan pertanyaannya. Karena, ia kembali berbicara. "Terus pas besoknya, Akila pakai jepit rambut. Eh, waktu penutupan MPLS, ia menguncir rambutnya. Pakai gaya apa pun, kayaknya Akila memang memesona, deh."

Sungguh, aku muak mendengarnya. Seolah sesuatu di dalam dadaku menggelepar. Mirip ikan di daratan. Pilihannya cuma dua, tetap di tepi dan mati konyol, atau menyingkir dan masuk ke air. Aku harus tetap mendengarkan dan mengetahui perkembangan hubungan keduanya. Walau itu artinya telingaku harus iritasi. Atau menyingkir dan tidak perlu mendengar seluruh omong kosong Axel tentang Akila. Efeknya, penasaran setengah mampus.

Apa pun pilihan di atas, enggak ada satu pun yang terdengar menyenangkan. Serupa duduk salah, tegak pun salah. Intinya serba salah. Aku tetap ingin dekat dengan Axel. Di lain sisi, muak mendengar Axel bercerita kalau Akila begini dan begitu. Maksudku, aku tidak ingin Axel dekat cewek mana pun.

Kemudian aku heran dengan diri sendiri. Begitu posesif dan mengekang. Padahal hanya sekadar sahabatnya. Harusnya aku mendukung. Katanya, kita bisa disebut dewasa kalau bisa melihat orang yang kita suka berbahagia. Walau bahagianya bukan bersama kita. Sayangnya, susah sekali menerapkannya.

Aku semakin jengkel. Mungkin karena tidak ada respons, Axel berhenti mengoceh. Ia mengacak rambutku singkat.

"Kalau kita jadian, nanti kamu pasti dapat traktiran susu taro," kata Axel ceria.

Aku tersenyum miris. Senang dan sedih secara sekaligus. Aku bahagia karena Axel ingat minuman kesukaanku ketika pikirannya sibuk dengan Akila. Tapi, aku kecewa karena maksud Axel dari kita merujuk padanya dan Akila. Seandainya Axel tahu perasaanku, apa ia akan tetap terbuka dan cerita seperti ini? Aku meragukannya.

"Susu taronya boleh dipanjar diawal, kok," jawabku mencoba riang.

Axel terkekeh. "Boleh. Sesudah pulang sekolah, ya? Eh, bumbu somaymu nempel di dekat bibir, tuh. Kayak anak kecil makannya belepotan. Sini aku bantu bersihin."

Sebelum kepalaku sempat mundur ke belakang untuk menolak, tangan Axel sudah terulur ke arah wajahku. Dengan jempolnya, ia mengusap sudut bibirku. Cepat. Sekilas. Tapi, rasanya jempol itu masih menyentuh kulitku. Axel sudah menjauhkan tangannya, lalu ia tersenyum entah untuk apa.

Aku ikut tersenyum. Mendadak kikuk. Sengatan listrik dari sentuhan Axel ternyata tidak baik untuk kesehatan jantungku. Rasanya masih berdebar liar di dalam rongga.

Sayangnya, Axel terlihat biasa saja dan melanjutkan memakan somay yang bukan berisi somay. Benar. Kami memang memesan makanan bersama di kantin. Aku hanya membestel somaynya. Axel lain lagi. Ia tidak suka tepung kanji campur ikan tenggiri itu. Dan lebih memilih topingnya saja, seperti tahu, kentang, telor rebus, pare serta kol.

Ketenangan itu tidak bertahan lama karena Akila menghampiri meja kami. Axel nyaris tersendak pare terakhirnya. Mungkin saking kagetnya melihat cewek itu menghampiri. Jangankan Axel, aku saja heran Akila ke sini.

"Axel, makasih ya pinjaman pulpennya kemarin. Ini aku kembalikan," ujar Akila sambil tersenyum. Entah mau mempamerkan pipinya yang tembem atau mau memperlihatkan giginya yang berderet rapi.

Axel mengangguk. Pipinya terlihat merah. "Oh, ya. Makasih. Ngomong-ngomong kamu mau makan bareng kita?"

Aku yang tadi sedang memerhatikan Akila, secara otomatis langsung menoleh ke Axel. Cowok itu masih melihat Akila tanpa berkedip. Sembarangannya saja ia mengajak cewek ke meja ini untuk makan bersama. Lebih parahnya, tidak menanyakan pendapatku dulu.

"Bolehkah?" tanya Akila ragu-ragu. Ia melihat ke arahku.

Bagus kalau sadar diri, umpatku dalam hati. Lebih baik pergi saja. Jangan kembali lagi.

Kepala Axel berpaling ke arahku meski sesekali matanya melihat ke Akila. "Boleh, kan, Pev? Nah, ia memelotot begitu artinya tak masalah. Ayo, Akila, kamu duduk aja. Aku pesenin somay. Mau, ya?"

Kemudian, yang kutahu sekarang, Akila duduk di bangku Axel. Aku mencoba menekuni somayku tanpa menganggapnya ada. Susah juga karena cewek itu malah memerhatikanku. Sebagian besar orang pasti sadar jika diamati meski sedang melihat ke arah lain.

"Axel bilang kalian bersahabat sejak sekolah dasar," kata Akila lebih berupa pertanyaan yang butuh ketegasan dibanding pernyataan.

Aku mengangguk. "Tentu saja."

"Kalian murni sahabat, kan?"

Apa Akila mencoba mengujiku? Maaf saja, aku tidak akan umbar-umbar soal perasaanku. Mungkin itu yang ingin ia tahu. Akhirnya, aku memutuskan mengangguk mengiyakan tanpa mempertanyakan. Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan Akila. Walau tidak penting.

"Kalau begitu aku punya kesempatan, ya?" tanya Akila sambil tersenyum miring.

Eh, apa maksudnya? Aku menatap cewek di hadapanku menanti penjelasan selanjutnya. Tapi seperti Axel, Akila juga meracau.

"Menurut kamu apa yang Axel suka?" tanya Akila. Lalu, ia menjawab pertanyaanya sendiri. "Aku tahu hal yang Axel suka. Pasti aku. Kalau Axel bergerak cepat, kami sudah jadian. Tolong katakan padanya bahwa aku juga menunggu ia. King Card sangat cocok jika bersama Queen Card."

Ada nada keangkuhan dari caranya berbicara. Aku tidak tahu itu perasaanku saja atau bukan. Karena, Axel keburu datang dan menyajikan somay di hadapan Akila. Lalu, keduanya asyik berbicara. Seolah aku kotak tisu di antara mereka. Tidak dianggap. Nyaris terlupakan.

Karena tidak tahan duduk-duduk di kursi panas itu, aku beranjak. Axel bahkan tidak menyadari kepergianku. Tapi Akila sadar dan ia tersenyum penuh kemenangan. Seperti itu yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. Ugh, kesal. Ia menyebut dirinya apa tadi? Queen Card? Jangan mimpi. Aku mendengus.

Axel memang dikagumi beberapa cewek. Hingga ia mendapat sebutan King Card. Meski ada beberapa King Card lainnya di sekolah kami. Mungkin karena Axel bersikap baik pada semua orang dan itu sudah memperjelas tak ada yang istimewa di matanya. Barangkali, cewek-cewek menganggap hal tersebut keren.

Namun, akan berbeda dengan Akila. Ia tidak cocok dengan sebutan Queen Card. Tidak ada cerminan baik dari sikapnya. Lihat saja kelakuan sengaknya tadi, ia bahkan tidak beramah tamah padaku. Axel harus segera disadarkan. Ia salah memilih orang untuk disukai. Masalahnya, apa cowok itu mau mendengarkanku?

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang