2 Desember

3 2 0
                                    


It's between two hearts.

A personal situation.

Between two hearts.

The kind of love with a reuptation.

(Dio – Between Two Hearts).

Seminggu setelah kejadian tersebut, keadaan tidak lebih baik. Masih saja Axel dan Kaivan melimpahkan perhatian padaku secara bersamaan. Keduanya tidak pernah melempar ejekan. Tapi, jelas sekali keduanya sedang perang terbuka di hadapanku. Aku tidak tahu tujuannya, yang jelas aku merasa serba salah dan muak.

Terkadang aku ingin bersorak karena Axel perhatian. Di lain sisi, aku juga menghargai Kaivan yang berusaha untuk membantuku. Dengan cara berbeda, mereka mengekspresikannya secara terang-terang.

Sekarang, keduanya lagi-lagi menawarkan diri untuk mengantar pulang. Mereka juga tampak tak keberatan menungguku selesai eskul. Selain berkompetisi di futsal, keduanya masih saja bersaing mengantarku pulang. Heran.

Di dorong rasa kesal, aku menolak tawaran keduanya dalam sekali bantahan. Kendati membandel, keduanya tampak mengerti raut kedongkolan. Tak ada yang memutar balik untuk mengantar pulang dan aku harus lega.

Saat selesai eskul, aku dan dua sahabatku tidak keluar ruangan. Kami sama-sama menunggu semua orang keluar. Saat semuanya sudah pergi, aku bernapas lega.

"Jadi, apa yang kami lewatkan beberapa minggu belakangan ini?" tanya Vadinda.

"Cerita saja. Mungkin kami bisa bantu," tambah Savannah.

Tanpa perlu diminta dua kali, aku pun bercerita. Dimulai dari pertanyaan Kaivan yang langsung membuatku bungkam. Disusul kabar kandasnya hubungan Axel dan Akila. Sebenarnya aku senang walau tahu itu sifat yang egois sekali. Selama aku kembali membangun persahabatan dengan Axel, ada Kaivan yang selalu mewarnai hari-hariku. Cowok itu bahkan hadir saat perasaanku membiru.

Sekarang, Axel dan Kaivan seolah mencoba mencari perhatianku dan mengaktualisasi diri mereka agar pantas. Aku tahu terdengar narsis, tapi begitu yang kurasakan. Bukannya senang diperhatikan dua orang, justru aku resah. Aneh sekali mendapat perhatian sekaligus secara bersamaan. Apalagi aku tidak tahu harus menempatkan diri.

Peranku seakan dipaksa ganda. Sebagai juri yang harus menilai keduanya. Atau sebagai cewek yang memutuskan ingin bersama dengan siapa. Dan jujur saja, aku pening jika harus menghadapi mereka terus menerus seperti itu.

"Ketika kamu berharap pada Axel, malah kamu mendapat Kaivan," cetus Vadinda sambil cekikikan.

"Sama kaya peribahasa sambil menyelam minum air," jawabku asal-asalan.

Vadinda mendorong bahuku pelan. "Peribahasa terus."

"Pelik juga situasnya," sahut Savannah serius.

Aku menghela napas. "Aku harus bagaimana? Capek sekali rasanya."

"Sudah sebulan kamu belum menjawab pertanyaan Kaivan. Wajar ia mencoba membuktikan diri," kata Savannah sambil tersenyum. "Apalagi sikap Axel yang mendadak perhatian, Kaivan pasti sadar. Mereka malah bersaing secara sehat tanpa menjatuhkan. Keduanya sama-sama ingin memiliki tempat di hatimu."

Aku tercenung mendengarnya seolah baru mendapat pencerahan. Jika itu benar, aku harusnya berbangga diri. Tapi, aku malah semakin gundah.

"Kalau kata hatimu bagaimana?" tanya Vadinda kali ini.

"Aku senang kalau itu benar. Apalagi Kaivan sudah berbaik hati menghiburku saat sedih. Ia anaknya energik, asik dan menyenangkan. Cepat gaul dan selalu punya sisi menghibur yang kental. Kaivan bikin aku tertawa bahkan untuk sekadar lelucon standar. Seakan kami berada di medan magnet yang sama," ujarku jujur.

"Bagus kalau kalian sepemahaman, kan?" Vadinda menepuk pundakku.

"Justru itu masalahnya. Kaivan begitu energik sampai aku kelelahan. Bukan cuma sekadar fisik, tapi juga psikis. Selalu ada rasa hampa setelahnya. Bukan salah Kaivan. Rasanya hatiku yang gagal tertata baik," kataku. "Seperti seseorang dipaksa berpura-pura saat tidak bahagia."

"Karena Axel, Pev? Kamu cemas dan khawatir dengan Axel. Hatimu enggak bisa berdusta. Kamu sudah mempertimbangkan dan menempatakan cowok itu di relungmu," jawab Savannah.

"Kurasa begitu. Tapi aku juga khawatir terjebak pilihan yang salah," kataku sambil menangkupkan muka dengan kedua tangan.

Vadinda mengelus punggungku lembut. Mencoba menentramkan. "Jangan sampai mempermainkan dua hati, Pev. Apalagi memberi sinyal yang salah. Kamu bakal kehilangan dua-duanya. Bukan hanya teman, tapi juga tempat berbagi. Kamu harus siap memilih salah satu dan melukai yang lainnya."

Aku mendongak ke hadapan Vadinda dengan tatapan nanar. Ucapan itu seakan menamparku. Memang benar, ucapan cewek berbando kucing tersebut menampar keraguan yang selama ini bersemayam di dadaku. Kalau tidak melukai salah satunya, aku bakal melukai keduanya. Konsekuensinya, seperti kata Vadinda. Aku akan kehilangan secara sekaligus.

"Aku tahu kamu juga terluka. Tiada orang yang tak terluka setelah melukai orang lain. Tapi, kamu harus membuat keputusan sulit. Bukan hanya demi kamu. Namun, untuk kalian bertiga," kata Savannah sambil menepuk pelan punggung tanganku.

Dari seluruh kejadian, pada akhirnya aku yang membuat harus menentukan sikap. Membuat keputusan untuk kebaikan bersama. Kaivan begitu baik, aku tak ingin menyakiti hatinya. Axel juga menyenangkan. Keduanya berada di medan magnet yang berbeda.

Pemikiran tersebut masih bergelantungan di benakku hingga sampai rumah. Besok aku harus bertemu Kaivan atau Axel, janjiku pada diri sendiri. Aku butuh ketenangan dan untuk membuat keputusan terbijak.


Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin :)


Jangan lupa vote dan komen kalau kamu suka cerita ini.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang