11 Agustus

4 2 0
                                    

Last year's old news.

I'm breaking out my six string.

And playing from my heart.

It's not déjà vu

'Cause it's another summer.

That's how this chapter starts.

(Demi Lovato – Brand New Day).


Lusa di sore hari, setelah selesai belajar dan mengajari Serly, akhirnya aku bisa keluar rumah dengan damai. Mama mengizinkanku meski mewanti-wanti agar jangan terlalu lama. Aku mengiyakan dan mandi. Lalu, berganti pakaian. Memakai kaos berwarna pastel dan celana jeans panjang.

Tidak perlu berdandan berlebihan, toh aku hanya pergi ke rumah Axel. Belum kurencanakan ingin main ke mana, sih. Mungkin aku akan mengajaknya ke Game Loop. Tempat itu seru. Kaivan memang cerdas merekomendasikan tempat secara tak langsung. Atau pergi ke Pasar Malam dan makan gulali banyak-banyak.

Aku memasukkan lima lembar sepuluh ribuan ke saku dan segera keluar rumah. Langit mulai berwarna jingga dan burung-burung terbang ke dahan pohon. Aku berjalan sambil merancang ide. Komidi putar seru juga. Naik bialala tak kalah menariknya.

Sesampai di pagar rumah Axel, aku memanggil nama cowok itu. Biasanya ia akan segera keluar. Tapi, semenit dua menit yang terlewati, batang hidungnya belum juga terlihat. Malah Bunda Axel yang bergegas menghampiriku.

"Axel baru saja pergi. Bunda pikir, perginya sama kamu. Kalian lagi bertengkar?" tanya Bunda Axel ramah seperti biasa.

Keramahannya justru membuatku tak enak hati. Maka dengan canggung, aku berpamitan dan menjawab apa adanya bahwa aku juga tak tahu keberadaan Axel. Ke mana cowok itu? Aku meninggalkan rumah Axel dengan perasaan jengkel. Tentu saja aku tidak berjalan pulang. Lebih baik ke mini market untuk jajan, sekaligus menetralisir suasana hatiku. Jaraknya hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Sambil menghentakkan kaki, aku masuk ke mini market dan membeli susu taro. Membayar. Lalu, duduk di bangku luar mini market dan mulai minum susu taro dengan rakus.

Axel pergi ke mana, ya? Aku memeras otak mencoba berpikir. Ia tidak mungkin pergi futsal. Cowok itu tidak pernah futsal di luar, selain dari eskul sekolah. Tapi itu bisa saja terjadi. Apalagi beberapa hari ini kami jarang bicara meski semeja.

"Hai, Pev!" sapa seseorang ceria.

Aku menoleh dan mendapati wajah Kaivan semringah. Semua pikiran dan kekesalanku sejenak hilang dari benak berganti keterkejutan. Cowok itu memakai jaket tanpa diritsleting sehingga memaparkan kaos birunya. Celana pendeknya senada dengan pakaian atas. Rambutnya tampak acak-acakan. Sebelah pundaknya tersampir tas. Tangan kirinya menggenggam tali tas.

Kaivan tak menunggu responsku. Ia duduk di sampingku sambil meletakkan sekantong plastik dan tasnya di celah antara aku dan dirinya. Kaivan membuka plastik, mengambil minuman bersoda dan menengaknya tak sabaran.

"Pas di dalam, aku panggil enggak nengok. Sekarang, baru sadar," katanya.

"Eh? Kamu manggil? Aku enggak dengar. Maaf. Kayaknya aku melamun, deh."

"Gara-gara Axel? Cowok itu jalan sama Akila naik motor. Kalau itu yang kamu mau tahu," seru Kaivan sambil kembali minum.

Alarm peringatan di kepalaku langsung berbunyi nyaring. Bodoh sekali. Kenapa aku tidak berpikir sampai situ, ya? Aku menggaruk kepala. Sekarang hari libur, mereka pasti jalan-jalan ke suatu tempat, entah di mana. Sebenarnya itu haknya, tapi dadaku tetap terasa terbakar.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang