25 November

3 2 0
                                    

She has made your brown eyes blue.

Gotta leave her alone 'cause she's a liar.

Baby she's a liar.

Don't let her get down on you.

(Dolly Dots – She's a Liar).

Aku belum juga menjawab pernyataan Kaivan. Kupikir ia hanya bertanya tanpa menutut ajakan pacaran. Tapi, itu naif sekali. Aku tahu Kaivan mendeklarasikan perasaannya untuk mengharap satu jawaban. Sayangnya, aku tak bisa menjawab pertanyaannya segera.

Lalu masalah lain datang. Aku pikir berakhirnya Akila dan Axel memudahkan semuanya. Terutama ketika Axel duduk kembali di samping bangkuku. Tiada Akila yang muncul di daun pintu. Tapi, dugaanku salah. Setiap hari malah Axel mengeluhkan penyebab kandasnya hubungan mereka. Dan Axel menyalahkan dirinya sendiri.

Axel bilang itu karena terlalu percaya pada Akila dan membebaskannya begitu saja. Kalau tidak dimulai dari kepercayaan, lalu dari mana? tanyaku saat itu juga. Axel sendiri yang memberitahuku kalau kepercayaan dan komunikasi itu prinsip dasar menjalin hubungan.

Kemudian di hari lainnya, aku malah sibuk dengan Axel. Cowok itu berkata kalau saja ia memerhatikan setiap gerak-gerik Akila. Ia mungkin bisa memperbaiki hubungan mereka sebelum berkeping-keping. Aku memutar kedua bola dan mengatakan kalau Axel tidak harus menjadi agen mata-mata.

Lalu di hari-hari selanjutnya selalu terjadi. Ternyata sakit hati setelah hubungan berakhir itu tidak cuma berlaku pada cewek. Tapi, cowok juga bisa merasakan kepedihan. Mungkin cara mengekspresikan dan kadarnya yang berbeda. Intinya, keduanya tetap galau.

Namun, aku tetap tidak kaget jika menyaksikannya secara langsung. Mungkin akan beda ceritanya jika cowok lain. Barangkali karena aku yang meradang mengetahui Axel masih memikirkan Akila. Karena tak tahan, aku menendang tulang kering Axel. Hal itu membuatnya mengaduh-aduh.

"Sakit, Pev!" protesnya.

"Aku berbaik hati memindahkan otakmu yang di kaki jadi balik ke kepala. Kayaknya kamu jadi dungu sejak putus. Buktinya kamu terus menyalahkan diri sendiri. Padahal Akila yang mencurangimu," kataku bersunggut-sunggut.

"Aku masih enggak habis pikir saja hubungan kita berakhir," keluh Axel.

"Aku juga enggak habis pikir kalau kamu jadi bodoh karenanya. Heads up. Buktiin kalau kamu enggak butuh cewek sepertinya," ujarku berapi-api.

Omonganku yang berkobar tampaknya membuahkan hasil. Karena seminggu setelahnya, ia tidak membahas hal tersebut secara intens. Walau masih sesekali membicarakannya. Lalu, dua minggu kemudian malah terjadi hal-hal aneh.

Axel dan Kaivan sama-sama menawarkan diri untuk mengantarku pulang, mentraktirku minum dan bahkan berbarengan memberiku susu taro. Kejadian ganjil itu masih berlanjut seperti di pagi hari ini, saat aku keluar pagar.

"Hai, Pev," sapa Kaivan.

"Oh. Halo, Pev," tegur Axel.

Aku menggenggam tali tasku dengan linglung. Dua cowok duduk di motornya masing-masing sambil tersenyum ke arahku persis.

"Berangkat bareng, yuk," seru Kaivan dan Axel berbarengan.

Aku mengernyitkan kening sambil melihat ke arah mereka satu persatu. "Kayaknya aku naik angkot aja, deh."

"Lebih cepat naik motor," kata Axel.

Kaivan tersenyum ke arahku. "Angkot kan lama. Bareng aku aja, yuk."

Aku menggeleng. Kukuh pada pendirian. Meski aku tahu risikonya akan terlambat. Lebih baik telat dibanding harus memilih di antara mereka dan membuat salah satunya sakit hati. Lagipula aku tidak mau merusak pertemananku dengan keduanya.

Axel dan Kaivan sama-sama bersikeras. Aku meminta mereka berangkat ke sekolah duluan supaya tidak terlambat. Lucu kalau kami bertiga sama-sama telat karena saling menunggu dan berkeras hati. Sampai akhirnya mereka paham dan memacu motornya pergi. Aku bernapas lega dan berjalan keluar komplek.

Lima menit sudah terlewati sesaat aku menunggu. Tapi, aku yakin ada angkot yang lewat. Sampai di menit berikutnya, yang terasa lama. Lantas pengendara dengan helm full face dan motor matic bergerak di lajur kiri. Lalu, berhenti tepat di depanku.

"Kaivan?" tanyaku terkejut.

"Aku kan sudah bilang kalau angkot lama. Ayo naik," serunya.

Barangkali karena didorong rasa gelisah akibat angkot yang belum ada tanda-tanda tampak, akhirnya aku menurut ucapan Kaivan. Di perjalanan, kami tak saling berbicara. Ketika pagar sekolah yang bercat hijau mulai terlihat baru aku buka suara.

Aku meminta pada Kaivan untuk berhenti di depan pagar. Karena khawatir Axel melihat aku dan Kaivan yang berangkat sekolah bersama. Awalnya Kaivan bersikeras, saat aku mengancam akan loncat dari motor, ia pun berhenti.

Kejadian pagi itu ternyata belum seberapa dibanding saat jam istirahat. Aku bersama Savannah dan Vadinda memesan bakso di kantin. Sementara Vadinda menunggu bakso selesai disajikan. Aku dan Savannah melipir ke food court lain untuk memesan satu botol air mineral dan dua teh botolan. Sering bersama tampaknya membuat kami saling hafal menu.

Vadinda dan Savannah sama-sama senang minum teh setelah makan. Tapi, Vadinda tak suka memakai sambal di baksonya dan lebih suka saos saja. Sementara Savannah gemar menuang saos banyak-banyak. Sedangkan aku lebih senang minum air mineral usai makan dengan bakso bening. Bening dalam artian tanpa sambal, saos ataupun kecap.

Ketika semua sudah siap, kami memilih duduk di meja untuk empat orang. Letaknya di tengah ruangan. Jadi, sisi ujung kiri dan kanan tetap diletakkan bangku. Sehingga enam orang yang menempati di sini pun bisa. Savannah dan Vadinda duduk secara horizontal di sisi kiri. Sedangkan aku berhadapan dengan mereka di sisi yang lainnya. Tersisi kursi kosong di kiri, ujung kiri dan kanan.

Sebelum kami sempat memegang mangkuk masing-masing, Kaivan dan Axel muncul. Kaivan memilih duduk di sebelah kiriku. Sedangkan Axel meletakkan pantatnya di bangku ujung kanan. Mereka meletakkan piring berisi somay ke meja. Tampaknya belum tersentuh karena sendoknya masih bersih dan makanan masih tertata rapi.

"Gabung, ya?" seru Kaivan. Kalimat cowok itu disambut cengiran dari Axel seolah terwakilkan dengan pernyataan tersebut.

"Oh. Oke," kata Vadinda bingung.

Dalam waktu tiga minggu, Vadinda dan Savannah hanya melihat dua kali kejadian Kaivan dan Axel datang di hadapanku secara berbarengan. Pertama, saat memberikan air mineral selepas olahraga. Kedua, ketika beranjak keluar pintu dan Kaivan menawarkan tumpangan pulang. Padahal Axel sudah mengatakan itu lebih dulu saat aku sedang berbincang dengan Vadinda dan Savannah.

Aku pikir wajar kalau mereka masih heran jika kedua cowok itu hadir mendadak. Meski begitu, Vadinda dan Savannah tak berkomentar apa pun. Tak ada yang membahas hal tersebut seolah hanya kebetulan sesaat. Dan aku agak lega karena tak perlu menjelaskannya.

Ketika situasi kembali terkendali, aku berpaling ke arah mangkuk baksoku. "Sendoknya belum," seruku ke arah Vadinda.

Vadinda menoleh dan meminta maaf. Karena meja di kantin tidak spesifik milik satu food court, jadi sendok tidak tersedia di meja. Begitu juga dengan kotak tisu, kecap, garpu, tusuk gigi dan sejenisnya. Mau tak mau harus meminjam pada food court bersangkutan atau yang lainnya.

"Ini."

Seruan itu berasal dari Kaivan dan Axel yang nyaris bersamaan. Mereka membuka mulut sebelum aku dan Vadinda sempat saling mengalah untuk mengambil sendok. Vadinda menoleh. Savannah melongo. Meski hal aneh ini berulang terjadi, aku masih saja tak kalah terkejutnya.

Kaivan dan Axel sama-sama menyodorkan sendoknya ke arahku. Padahal hanya disuruh memilih sendok. Tapi, aku seakan diminta memutuskan hidup atau mati di tangan keduanya. Aku menenguk ludah, tak enak hati.

"Pakai sendokku saja. Aku ambil sendok lagi," seru Vadinda memecah keheningan.

Vadinda langsung meletakkan sendok ke mangkukku sebelum ada yang protes. Kaivan dan Axel meletakkan kembali sendok ke piring masing-masing. Vadinda kembali semenit kemudian dengan senyum merekah.

Situasi yang semula ceria kini berubah canggung. Apalagi aku yang berada di tengah Axel dan Kaivan. Sesekali Vadinda dan Savannah mencuri pandang ke arahku menuntut penjelasan. Barangkali aku memang butuh saran dari pihak ketiga.


Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang