29 Juli

4 2 0
                                    

I went to see a fortuneteller, that was a trip.

Maybe this confussion's got me losing my trip.

I can't believe you're out there flying with somebody else.

(The Killers – Just Another Girl).


Pelajaran fisika, masih saja membahas kesetimbangan benda tegar. Kali ini terpaksa aku serius mendengarkan. Gurunya sudah mewanti-wanti. Pertemuan selanjutnya, akan ada ulangan untuk mengecek pemahaman murid.

Axel yang duduk di sebelahku tampak bersemangat. Ia juga mengajariku dari jenis-jenis kesetimbangan sampai cara mengerjakan soal. Tumben hari ini otaknya lancar banget. Seakan alien baru saja menculiknya atau mungkin memberinya segelas minuman kecerdasan.

Otak encernya juga masih berfungsi dengan baik saat pelajaran bahasa. Axel menyimak dengan tekun penjelasan Pak Matsani. Cowok itu juga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang sebenarnya sudah dijelaskan guru bahasa tersebut hanya sekadar untuk tes saja. Aku bersyukur meski agak heran.

Kebingunganku terhadap Axel terjawab saat bel istirahat. Aku mengajaknya ke kantin untuk makan bakso. Enak kayaknya makan kuah-kuah bercampur mie kuning dan bihun. Apalagi ada pangsitnya. Tapi, Axel malah senyum-senyum ke arahku. Sampai aku khawatir ia beneran diculik alien.

"Kamu tahu enggak—"

"Enggak," sahutku langsung.

"Dengerin dulu," katanya masih nyengir dengan lebar. "Aku sudah resmi jadian dengan Akila."

Pengumumannya seketika langsung mengguncang hatiku. Mendadak napasku jadi tak beraturan. Dan aku tahu itu bukan terjadi begitu saja, melainkan karena Axel penyebabnya. Kalau saja informasinya tentang motor atau apalah, aku lebih siap mendengarnya. Bahkan cendrung biasa saja.

"Kapan?"

"Semalam. Aku mengatakannya lewat chat. Tapi, Akila meminta dikatakan langsung. Makanya tadi pagi aku langsung ke kelasnya," ujar Axel.

"Sebentar. Sejak kapan kalian chat? Maksudku, kamu kan enggak punya nomornya," tanyaku penuh antisipasi.

Axel tertawa. "Aku minta Akila. Pas kemaren-kemaren kamu nyamperin aku ke parkiran setelah selesai eskul. Sejak itu kami jadi intens chattingan."

Kini, aku jadi tahu alasan mereka tertawa tempo hari tertawa. Pasti karena keduanya senang akhirnya bisa semakin akrab. Masalahnya, aku tidak berpikir sampai situ. Kok bisa mereka mengobrol tapi aku tak tahu? Beberapa hari ini, memang Axel suka senyum-senyum. Sayangnya, ia memang sering begitu, kecuali jika berhadapan dengan Kaivan.

"Oh," kataku. Jauh sekali dari antusias.

Axel mengacak rambutku. "Bilang selamat dong. Atau apa gitu. Kamu harusnya ikut senang karena sahabatmu ini akhirnya enggak jomblo lagi."

Memang salah menjadi jomblo? Aku tidak bertanya begitu ke Axel. Percuma juga. Otaknya sedang girang dengan keberhasilannya mendapatkan Akila. Lebih dari itu, aku tak mengucapkan selamat ke Axel dan menepis tangannya dari rambutku.

"Biasa aja," ujarku ogah-ogahan.

"Nanti kamu juga merasakan jatuh cinta. Dan saat itu terjadi, kamu bakal segirang aku," katanya. Sok keren dan sok puitis banget. "Ayo, kita ke kantin. Sekalian aku traktir bakso dan susu taro juga."

Setelah berhasil mengguncang diriku, masih sempat-sempatnya ia memikirkan ke kantin. Katakan aku berlebihan, tapi aku tak mau menjadi kotak tisu lagi jika bersama dengan Axel dan Akila. Dan dugaanku benar. Akila muncul malu-malu di ambang pintu. Aku langsung menolak ajakan Axel.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang