9 Agustus

5 2 1
                                    

When we're together.

We'll be safe and warm.

Doesn't matter where we are.

If you're there with me.

(Kristen Bell, Idina Menzel & Josh Gad – When We're Together).


Menjadwalkan ulang waktu bangun tidur setelah terbiasa dengan rutinitasi itu sulit. Pertama, harus mulai membiasakan diri dengan skedul baru. Kedua, tidak ada lagi istilah santai-santai.

Kini, aku selalu bangun pagi dengan terkantuk-kantuk. Biasanya jam 6.15 itu tinggal naik motor Axel. Sekarang, minimal jam enam, aku harus sudah berdiri di pintu utama komplek untuk menunggu angkot lewat. Seperti hari ini.

Angkot baru datang di jam 6.30 dan konyolnya aku tetap naik meski tahu akan terlambat sampai sekolah. Di dalam angkot, aku gelisah sambil menimbang-nimbang. Antara ingin tetap ke sekolah atau balik saja ke rumah. Tapi pelajaran hari ini ada fisika. Bukan aku bersemangat. Pelajaran itu agak sulit kumengerti. Kalau mendengarkan langsung dari guru saja sering lama pahamnya. Apalagi jika absen.

Namun, memaksakan masuk sekolah juga percuma. Pasti aku di hukum dan kelewatan pelajaran pertama, yakni fisika. Jelas sekali. Masuk atau absen tetap berdampak sama dalam satu bidang studi itu. Keuntungan lainnya, aku tidak akan ketinggalan pelajaran lain.

Masuk. Meliburkan diri. Masuk. Meliburkan diri. Begitu terus sesaat aku menghitung pohon yang terlewati. Berakhir dipilihan meliburkan diri.

Plang dan pagar sudah di pelupuk mata. Dan keputusanku sudah dibuat ketika memberhentikan angkot dan turun. Kebablasan sedikit. Tepat di depan warung es kelapa. Tak apa. Aku jadi bisa mengumpulkan keberanian sembari jalan.

Namun, mataku menangkap sosok yang familier di warung es kelapa. Cowok itu bersama dua kawannya duduk-duduk sambil tertawa. Aku terbelalak ketika menyadari. Kaivan. Serta dua temannya yang waktu itu pernah ikut eskul, Jimi dan Oji.

Barangkali karena sadar sedang diamati, Kaivan menoleh ke arahku. Ia melambaikan tangan dan gesturnya mengajak bergabung. Jimi dan Oji yang sedang merokok jadi menengok ke aku juga. Mereka cuma cengar-cengir.

Aku menghampiri mereka, terutama ke Kaivan. "Kok enggak masuk sekolah? Terlambat, ya?"

"Kita mah bukan telat. Emang sengaja," cetus Jimi.

"Duduk aja. Berdiri mulu kaya tiang bendera," kata Oji

"Berisik," sahut Kaivan. Lalu, ia menghadapku. "Kamu sendiri kenapa baru datang? Biasanya bareng Axel?"

Aku tersenyum miris. "Lagi sibuk sama pacar barunya," jawabku pahit.

"Kamu cemburu?" tanya Kaivan langsung.

Aku menatap Kaivan. Ia tersenyum jail. Kata-katanya seakan memojokkanku. Mengakuinya sama saja mempermalukan diri sendiri.

"Tidak," jawabku dengan lantang.

"Oh, oke." Kaivan tetap tersenyum. Dekik di pipinya begitu manis.

Aku mendengus. "Aku kesal karena ia lebih mementingkan pacar dibanding sahabatnya sendiri."

"Itu biasa terjadi dan terkadang kita harus memaklumi," sahut Kaivan.

Jimi menepuk pundak Kaivan. "Nanti saat putus juga bakal balik sahabat. Bukannya begitu?"

"Diinget pas susah. Terima saja nasib," tambah Oji sambil menghisap rokoknya.

Seketika perutku terasa teraduk-aduk saat mendengarnya. Perkataan Jimi dan Oji seakan menonjokku. Untuk sesaat, aku jadi memikirkan ucapan mereka. Semoga saja Axel tak seperti itu, walau tanda-tandanya sudah ada. Ah, lebih baik aku segera masuk sekolah. Lagian asap dari dua orang itu membuat sesak. Mereka menghisap rokok seolah akan menghabiskannya dalam satu tarikan napas.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang