15 Juli

9 2 0
                                    

I always thought you'd come back, tell me all you found was.

Heartbreak and misery.

It's hard for me to say, I'm jealous of the way.

You're happy without me.

(Labrinth - Jealous)

Saat sarapan sebelum berangkat sekolah, aku masih memikirkan ucapan Axel kemarin. Ia menyukai Akila ketika aku agak menaruh rasa ke Axel. Ini tidak adil. Tapi, aku tetap berharap ia menjemputku hari ini.

Selain itu ada yang mengusikku. Lepas dari kandang harimau, masuk kandang singa. Di SMP, Papa pernah menjadi guru Bahasa Inggrisku. Harusnya saat SD, aku belajar tekun biar tidak masuk SMP yang sama dengan tempat Papa mengajar.

Aku sudah belajar dari kesalahan dan masuk SMA Soekarno. Letaknya dua kilometer dari rumahku. Tapi sekitar rumahku ada SMA Pembangunan Nasional, Mama mengajar di sana. Aku patut berbangga diri dan jemawa saat itu. Sayangnya, tidak bertahan lama. Karena Mama—yang seorang guru Bahasa Indonesia—mutasi ke SMA Soekarno tepat aku kelas 2.

Bayangkan saat kamu pikir berhasil keluar dari cengkraman harimau, kamu malah tergelincir ke mulut singa. Hebatnya hidup yang dijalani, kan?

"Mama tidak mengajar di kelasmu. Tapi, Mama akan tetap memerhatikanmu," kata Mama mewanti-wanti.

Aku tidak suka mawas diri. Meski diam-diam, aku senang Mama tidak mengajar di kelasku. Sudah dimarahin di rumah, masa di kelas juga?

Lagipula, aku sudah berpengalaman satu sekolah dengan orang tua sendiri. Tidak mudah memang. Karena itu, aku agak kesal. Segala sesuatu seolah dihubungan dengan orang tuaku. Cukuplah masalah itu di rumah. Tidak perlu dibawa ke sekolah.

Namun, semua orang senang melihat peluang untuk membuatku tersungkur. Saat aku terlambat, temanku mengatakan Papa tidak membangunkanku. Padahal itu salahku sendiri karena mematikan alarm. Lalu, ketika aku mendapat nilai jelek. Papa juga yang dibilang gagal mendidikku. Mulut cabe rawit tidak berhenti sampai sana. Terus berlanjut.

Anak lain membuat kesalahan akan dibilang, bodoh, malas dan tidak becus mengurus diri. Tapi aku akan dibilang, kasihan orang tuanya atau yang lebih tajam 'anak guru kok begitu'. Memang sebuah kebanggaan memiliki orang tua guru. Sayangnya, tekanan jadi lebih besar jika satu sekolah.

"Tidak perlu diperhatikan. Aku bukan anak kecil, Ma," keluhku.

"Young Lady, jangan melawan kalau dikasih tahu," tegur Papa.

Oke, Old Man. Aku menelan ucapan itu. Bisa-bisa aku dikutuk jadi batu. Atau dipotong uang sakunya. Ugh. Menyebalkan.

"Betul. Jangan melawan," sambar Serly.

Aku memutar kedua bola mata. Serly masih SMP. Ia tidak pernah satu sekolah dengan Papa dan Mama, jadi mana mungkin ia mengerti. Seandainya satu sekolah, Serly pasti jadi anak idaman. Ia lebih pintar bersosialisasi dariku. Bahasa Inggrisnya juga lumayan. Meski nilai Bahasa Indonesia membuat Mama mengurut dada. Aku kebalikan Serly. Tapi sejak dulu, kami memang selalu menemukan alasan untuk bertengkar.

"Jangan ikut campur," kataku pada Serly.

"Aku memberitahu. Apa susahnya mengiyakan nasihat orangtua?"

Aku tak menggubrisnya. Keluar dari rumah, malah bertambah lagi kejadian menjengkelkan. Axel memang menjemputku dan kami berangkat sekolah bersama. Sayangnya, di perjalanan saat aku sedang menceritakan Mama yang akan mengajar di sekolah, Axel malah meracau soal Akila.

Sampai di sekolah, kami melihat mading. Ternyata kami sekelas. XI MIA 1. Aku dan Axel langsung beranjak dan berjalan di koridor, mata cowok itu sibuk melihat ke sana kemari. Seperti mencari seseorang atau sesuatu. Awalnya aku tidak tahu. Kemudian saat Akila muncul sambil mengibas-ngibaskan rambut, Axel melonjak.

Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang