Part R

616 28 6
                                    

Aku jadi jalan dengan Adit walau cuacanya tiba-tiba berubah gerimis. Lelaki itu ngotot ingin keluar, katanya biar lebih romantis.

Romantis pala dia peang?!

Alhasil kami berakhir di sebuah angkringan pinggir jalan. Awalnya aku heran mengapa pedangangnya memilih lokasi ini mengingat jalan di depannya tidak banyak dilalui kendaraan. Tapi setelah memperhatikan lingkungan sekitar yang cukup padat penduduk, aku mengerti tujuan pedagang angkringan itu. Mungkin efek gerimis menyebabkan suasana tempat ini jadi sepi.

Aku duduk di atas karpet sambil menunggu Adit yang sedang memesan makanan. Kami sedang berada di angkringan yang duduknya nggak nangkring, tapi lesehan. Di atas kami terdapat terpal yang sengaja dipasang untuk mengantisipasi cuaca semacam ini. Tak lama kemudian, Adit kembali dengan membawa segelas kopi dan segelas susu jahe. Di belakang Adit ada mas-mas tukang angkringan yang membawa dua buah piring.

"Makasih, Mas," ucap Adit setelah mas-mas itu meletakkan piring di depanku. Setelahnya, dia kembali ke tempat semula yang letaknya lumayan jauh.

"Kak Adit nggak ngopi?" tanyaku karena melihat satu gelas lagi bukan kopi.

"Ngopi," jawabnya. "Tapi join sama kamu aja."

"Oke." Aku mengambil satu tusuk sate jamur dan memakannya. Ku pandangi wajah Adit yang tengah mengunyah sate telur puyuh. Wajahnya tertimpa cahaya kuning lampu jalan, membuatnya tampak berbeda. Lelaki itu semakin terlihat ganteng.

"Kok liatinnya gitu banget? Ntar naksir loh!"

"Ini bukan naksir lagi, tapi udah jatuh hati," jawabku masih memandangi Adit. Aku tak bohong, aku memang sudah jatuh hati pada lelaki itu.

"Bisa aja kamu." Adit mengacak rambutku, membuatku terkejut. Aku langsung memperhatikan sekitar, takut ada yang melihat. Namun tidak ada orang. Sekarang aku paham maksud kata romantis yang Adit ucapkan tadi.

Aku kembali memandangi wajah Adit. "Kakak kok bisa ganteng banget sih?"

Adit tersenyum lebar. "Iya dong. Rifkinya aja ganteng, pacarnya juga harus ganteng." Entah kenapa aku agak geli mendengar ucapan Adit barusan.

"Iyain aja deh," ucapku mengakhiri pembahasan seperti ini. Ntar yang ada Adit semakin kepedean.

"Kakak masih sama Mba Risa?"

Adit menatapku. "Masih."

"Emang nggak sakit hati liat kelakuan dia kemaren?"

"Biasa aja."

Aku sedikit terkejut. "Biasa aja?"

"Aku udah nggak ada rasa sama dia. Jadi, dia mau ngapain aku nggak peduli."

Aku tertegun, merasa kata-kata Adit menyindirku. "Maaf."

Lelaki itu menatapku heran. "Kok malah minta maaf?"

Aku terdiam, menyadari sesuatu yang sudah ku lakukan. Bisa-bisanya aku menumpahkan semua kekesalanku terhadap Shila di depan Adit. Bodohnya aku yang tak menyadari bahwa kelakuanku mungkin saja menyakiti Adit. Walau lelaki itu tidak terlihat marah, namun aku tahu dia sedang menyembunyikan apa yang dia rasakan.

"Enggak perlu merasa bersalah gitu. Aku nggapapa, kok."

"Maaf, Kak. Aku seolah menjadikan kakak sebagai pelampiasan kekesalanku sama Shila, padahal jelas-jelas Shila adalah pacarku selain kakak."

"Udah. Nggapapa, Rif. Aku paham."

"Kakak nggak marah?"

"Awalnya emang aku ngerasa cemburu. Tapi aku coba memahami, mengingat kalian pacaran bukan sebulan dua bulan. Pasti sakit dikhianati kayak gitu."

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang