Part D

1.1K 55 13
                                    

Aku membuka data seluler smartphoneku. Ada lima pesan Whattspapp dan tiga panggilan tak terjawab dari Pram. Biasanya kalau dia menelpon sepagi ini, ada sesuatu yang cukup penting. Aku memutuskan untuk menelpon balik cowok itu.

"Hallo, Pram."

"Iya, Rif."

"Kenapa?"

"Motor gue mati, Rif. Ntar gue berangkat sama Ardi. Lo bawa motor sendiri, yah."

Aku terdiam beberapa saat. Agak males sebenarnya kalau harus berkendara sendiri ke sekolah. Tapi mau bagaimana lagi?

"Oke."

"Yaudah. Gitu aja. Lo ati-ati bawa motornya."

"Iya."

Aku mematikan sambungan. Jalur menuju sekolahku lumayan panjang. Aku harus melewati pasar dan beberapa sekolah lain agar bisa sampai ke tujuan. Hal itulah yang tidak terlalu aku sukai. Saat berkendara sendiri, aku akan merasa orang-orang memperhatikanku. Padahal sebenarnya andai aku tak acuh, mereka juga tidak akan peduli. Hanya saja, perasaanku yang selalu merasa diperhatikan kadang membuatku parno sendiri. Makanya aku lebih senang berangkat sekolah berboncengan.

Aku duduk di ranjang kamarku sambil menghela nafas. Mendadak aku malas berangkat. Namun beberapa saat kemudian, nama Iqbal tiba-tiba terlintas di benakku. Mungkin aku bisa ikut nebeng cowok itu. Tanpa pikir panjang, aku menghubungi Iqbal.

"Hallo, Bal."

"Iya, Rif. Ada apa?"

Deg

Rupanya Kak Adit yang mengangkat telponku. Entah kenapa mendadak jantungku berdegup kencang.

"Iqbalnya lagi mandi, Rif."

"Ooh, Kak Adit. Gi-gini kak,-"

Aku menjeda ucapanku dan mengambil nafas dalam. Rasanya lidahku kelu sampai aku tergagap begini.

"Ada apa?"

"Ngga kak. Ntar aja kalo Iqbal udah selesai, bilang kalau gue nelpon gitu, kak."

"Oke, Rif."

"Yaudah, kak. Gue tutup dulu."

"Iya adik ipar."

Aku terdiam mendengar ucapan Adit.

"Lo ngomong apa sih, Kak?"

"Haha. Ngga kok." Adit tertawa renyah. "Gimana tadi malem? Genjotan adik gue enak kan?"

"Dasar gila!"

Aku langsung mematikan telpon itu. Kalau dilanjutkan ngobrol dengan Adit, bisa-bisa aku ikut gila. Mana ni jantung kagak bisa diajak kompromi lagi!

Aku tak habis pikir dengan kakak Iqbal itu. Dia sepertinya sangat suka membuatku malu seperti ini.

Tadi malam, setelah mukaku pucat pasi, aku langsung pamitan. Aku pura-pura ibuku menelfon dan menyuruhku pulang. Alhasil, acara nikmat yang aku rencanakan dengan Iqbal berantakan semuanya. Sebenarnya Adit ngga terlalu masalah dengan adiknya yang mempunyai orientasi seksualnya berbeda dari kebanyakan orang. Ia terbuka dengan kami. Namun tetap saja aku risih.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang