Part J

797 43 9
                                    

Iqbal terus tersenyum setelah aku bilang mau membuka hati untuknya. Cowok itu juga masih menggenggam tanganku. Tersadar, dengan cepat aku melepaskan tangan itu.

"Kenapa dilepas?"

"Ntar ada yang liat gimana?"

"Ya enggak apa-apa."

"Enggak apa-apa pala lo peang?!" semprotku. "Bisa geger satu kampung!"

Iqbal nyengir. Cowok itu menatapku. "Lo kok ganteng banget sih, Rif?"

"Emang gue ganteng."

"Manis lagi."

"Gue tau."

"Tapi sayang,-" Iqbal menjeda ucapannya.

"Sayang kenapa?"

"Jangan tanya kenapa. Sayang gue ke lo enggak butuh alasan."

Aku tersenyum mendengar gombalan receh Iqbal. Bisa juga cowok itu. 

Aku menyeruput kopi yang tadi sudah ku buat. Entah disengaja atau tidak, Iqbal ikut menyeruput kopinya dengan tatapan yang tak lepas menatapku. Agak risih sebenarnya, namun aku mencoba untuk membiasakan diri.

"Kopinya kurang manis," komentar Iqbal.

Aku menatap cowok itu. "Mau ditambahin gula?"

"Enggak usah," jawab Iqbal.

"Lo mau bilang gausah ditambah gula, biar bisa ngomong kalau cukup liat gue aja udah manis?"

"Yaampun. Lo tahu banget, sih! Kayaknya kita sehati deh." Iqbal tersenyum lebar.

"Tahu dong. Tapi maaf, hatiku masih milik orang lain," ucapku sambil tersenyum.

"Wah ngeledek, nih!"

"Emang nyatanya begitu kan?" Aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Iqbal sudah memasang wajah masam.

"Oke. Bentar lagi gue pasti bisa milikin hati lo, Rif."

"Yakin?" tanyaku.

"Nantang nih bocah."

"Bukan nantang. Cuma memastikan."

Iqbal menatapku. Aku membalas menatap Iqbal, menatap lingkaran hitam pada bola mata cokelat cowok itu. Pandangannya begitu teduh dan seperti ikut berbicara.

"Bantu gue, Rif."

"Bantu apa?"

"Bantu gue berjuang buat menangin hati lo," jawab Iqbal sambil terus memandangku lekat.

Aku mengangguk. "Pasti."

Iqbal tersenyum mendengar jawabanku. "Makasih."

"Of course."

"Hari ini lo ada acara ngga?" tanya Iqbal. Posisinya sudah sedikit berjarak denganku.

"Enggak ada, sih," jawabku. "Mau ngajak keluar?"

"Iya. Lo mau kan?"

"Gue sih mau aja."

"Sip."

"Tapi mau kemana?" tanyaku.

"Pantai?" tawar Iqbal.

"Ngga ah. Minggu kemaren udah mantai sama Pram. Sama Ardi juga."

"Yaah." Iqbal tampak kecewa.

"Mall?"

"Males."

"Toko buku?"

"Lo mau liat kepala gue ngebul liat buku segitu banyak?"

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang