Part F

1K 47 0
                                    

"Apa lo mau jadi pacar gue?"

Hening.

Suasana yang semula panas itu mendadak bak tersiram hujan. Aku terdiam seribu bahasa.

"Gimana Rif?"

"Gue-" Aku bingung mau menjawab apa. Ini terlalu mendadak.

Iqbal menatapku tanpa berkedip. Wajahnya sangat menunjukkan kalau dia ingin aku mengiyakan pertanyannya.

"Gue butuh waktu, Bal."

"Apa gara-gara Shila?"

Aku berpikir sejenak. Hatiku memang tidak siap dengan ungkapan perasaan Iqbal. Tapi bukan karena Shila.

"Iya," jawabku berbohong. Aku tak punya alasan lain.

"Gue bisa jadi yang kedua."

Aku memejamkan mata, tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba aku merasa tak enak pada Iqbal. Aku ingin menerimanya, namun sesaat kemudian aku tersadar kalau sebuah hubungan tidak bisa didasari dengan rasa tak enak. Dan aku menganggap Iqbal sebagai teman. Tidak berpikir sampai sejauh itu.

Aku memasang kancing bajuku dan memperbaiki posisi celanaku. Setelah dirasa cukup rapi, aku bergerak merapikan pakaian Iqbal yang juga lumayan berantakan.

"Kita balik ke kelas, yuk, Bal."

"Apa ini sebuah penolakan?"

Aku menghembuskan nafas kasar. "Gue perlu waktu, Bal."

***

Aku membuka ponselku beberapa saat setelah bel pulang berbunyi. Niatnya ingin menghubungi Pram atau Ardi untuk menjemputku. Namun setelah aku ingat-ingat lagi, sepertinya mereka tidak bisa. Aku baru ingat kalau Pram ngga bawa motor.

"Nungguin siapa?"

Aku mengangkat kepalaku dari layar HP. Iqbal sudah bersiap untuk pulang dengan jaket biru dongker dan tas hitam di gendongannya.

"Ngga kok, Bal."

"Lo pulang sama siapa?"

Aku tak tahu mau pulang sama siapa. Alhasil aku hanya menggeleng pada Iqbal.

"Kenapa ngga minta tolong sama gue?"

"Emm-"

"Apa gara-gara kejadian tadi?"

Iqbal sepertinya paham kalau selepas kejadian di toilet tadi, aku sedikit canggung untuk berinteraksi dengan cowok itu. Jujur saja, aku masih syok dengan fakta kalau Iqbal menyukaiku. Dan itu sudah berlangsung lama.

"Kalau itu bikin lo sama gue jadi saling canggung gini, mending lo anggap kejadian tadi ngga pernah ada."

Ada rasa lega saat kata-kata itu keluar dari mulut Iqbal. Namun di sisi lain entah kenapa rasa canggungku malah bertambah. "Iya, Bal."

"Maaf."

Aku memejamkan mata. Mengapa Iqbal malah meminta maaf? Padahal dia tidak salah sama sekali.

Entah apa yang sedang terjadi dalam diriku. Jujur saja, hatiku menolak Iqbal. Namun akalku ingin menerima cowok itu dengan semua perhatian yang dia berikan akhir-akhir ini.

"Lo bisa anterin gue ke tempat Ardi?"

Iqbal tampak berpikir. "Bisa."

"Gue mau ke tempat Ardi. Lo anterin gue, yah."

Iqbal mengangguk. Setelah itu kami berdua bergerak keluar dari ruangan yang sudah sepi dengan rasa canggung yang masih saja menyelimuti. Aku berharap situasi seperti ini segera berakhir.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang