Aku mematut diri di depan cermin. Setelan batik cokelat dengan celana levis ditambah dengan sepatu yang cukup bermerk membuatku tersenyum pada diriku sendiri. Aku sedikit merapikan kerah sebelum memutuskan untuk keluar kamar.
"Anjir, gagah bener lo!" ujar Pram saat aku baru saja keluar. Dia dan Ardi sudah menungguku di ruang depan sedari tadi.
"Lo mau kondangan atau lo yang mau dikondangin?" Ardi menimpali. Aku hanya tersenyum menanggapi ujaran kedua orang itu. Ya, aku akui diriku memang tampan. Jadi, aku akan bersikap biasa saja mendengar pujian dari para penggemarku.
"Yuk, berangkat." Aku berucap sambil berjalan keluar rumah. Pram dan Ardi mengikuti tanpa banyak bicara.
Sesampainya di halaman, Ardi tiba-tiba berkata, "Lo yakin mau dateng ke pernikahan Kak Adit?"
Aku mengangguk mantap. "Gue yakin. Lo santai aja."
"Lo nggak bakal pingsan di sana, kan?" Ardi tampak sangat mengkhawatirkanku. Padahal aku sungguh tidak apa-apa.
"Enggak lah, Ar. Lo berlebihan!" ucapku meyakinkan Ardi. Aku paham kekhawatiran cowok itu karena dia tahu betul bagaimana perasaanku terhadap Adit. Namun biar bagaimanapun, aku merasa harus datang ke sana. Setidaknya aku ingin melihat Adit dari jarak dekat kali ini. Dan setelah itu, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk menghilangkan perasaanku pada lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu. "Lo percaya deh sama gue."
Ardi menghela nafas. "Oke."
Setelah itu, aku naik membonceng Ardi dan mulai melaju menuju rumah Adit. Dalam perjalanan, otakku memikirkan berbagai hal. Mulai dari respon orang tua Adit saat melihatku di sana, bagaimana aku harus bersikap di depan Adit dan keluarganya, apa yang harus ku ucapkan kepada Adit, dan kekhawatiran akan diriku sendiri yang mungkin saja memberi respon tak terkendali saat melihat Adit bersanding dengan orang lain.
Sesaat, keyakinan untuk pergi ke pernikahan Adit sirna. Aku berniat memberi tahu Ardi kalau aku ingin berbalik arah. Namun detik berikutnya, bayangan wajah Adit terlintas dalam pikiranku. Senyuman yang selalu dia sunggingkan untukku mendadak membuatku berpikir bahwa aku tidak boleh egois. Ini adalah hari yang bersejarah untuknya. Aku tidak boleh mementingkan perasaanku semata dan menjadikannya alasan untuk tidak hadir dalam momen istimewa Adit. Biar bagaimanapun, Adit pernah menjadi bagian dari diriku. Aku akan menguatkan hati agar mampu menerima semua kenyataan ini.
***
Aku sampai di depan rumah Adit. Halaman rumah itu tidak lagi terlihat karena tenda khas pernikahan sudah berdiri, lengkap dengan dekorasinya. Janur kuning juga sudah melengkung dan dibuat sedemikian indah. Kulihat banyak tamu yang menghadiri acara ini.
"Kita masuk sekarang?" tanya Pram yang sedikit mengejutkanku. Aku segera mengangguk lantas mulai berjalan masuk.
Sesampainya di dalam, pandanganku langsung tertuju pada Adit yang sedang berdiri di samping seorang wanita cantik. Dia mengenakan hijab. Mereka sedang bersalaman dengan para tamu.
"Lo kuat nggak?" tanya Ardi setengah berbisik. "Kalau enggak, kita bisa pulang aja."
"Gue kuat kok." Aku menguatkan hati lebih tepatnya. Setelah itu, aku masuk ke barisan orang-orang yang hendak menyalami pengantin baru itu. Berulang kali aku berusaha mengatur nafas yang tiba-tiba terasa berat.
Tiba saatnya aku bersalaman dengan Adit. Lelaki itu tampak sangat terkejut melihatku di sini.
"Se-selamat, Kak." Suaraku bergetar. Melihat Adit begitu gagah dengan setelan putih dan jas hitam serta peci hitam, rasanya kerinduanku mulai terobati. Namun di sisi lain, hatiku seakan mendapat tusukan di segala sisi. Sakit. Bahkan aku yang sebelumnya sangat yakin tidak akan menangis, kini setetes air mata lolos begitu saja. Aku segera menghapusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkup
Teen FictionTAMAT | PART LENGKAP Rifki tak sengaja bertemu dengan seorang gay di Facebook. Tanpa Ia duga, orang itu adalah teman sekelasnya yang ternyata sudah lama menyukai Rifki. Di sisi lain, takdir juga mempertemukan Rifki dengan seorang laki-laki tampan y...