Part H

897 48 4
                                    

Malam ini hujan kembali turun. Terpaksa acara apelku harus batal. Sebelumnya, aku dan Shila sudah berencana untuk menghabiskan malam minggu untuk berjalan-jalan ke pasar malam. Tapi apa mau dikata. Aku tidak bisa mengendalikan hujan.

Pukul sepuluh malam, Shila berpamitan untuk tidur duluan setelah berbalas chat lumayan lama. Sejauh ini, hubunganku dan cewek itu masih baik-baik saja. Tapi mungkin kalau dia mengetahui kalau aku adalah seorang biseksual, bisa saja dia menjauhiku.

Ngomong-ngomong tentang orientasi seksual, aku jadi teringat Iqbal. Cowok itu bisa jadi bukan pure gay kan? Ada kemungkinan kalau dia biseksual sepertiku, karena selama beberapa hari ini aku tidak menanyakan dia suka cewek atau tidak.

Hujan turun semakin deras. Suara genting yang tertimpa air membuat suasana nyaman tersendiri untukku. Namun pikiran tentang orientasi seksual Iqbal masih mengusik kenyamananku malam ini. Jadi tanpa pikir panjang, aku menelpon cowok itu. Sekalian untuk menghabiskan sisa malmingku.

Cukup lama aku menunggu Iqbal mengangkat telepon, dan akhirnya panggilan pertamaku tak terjawab. Aku berpikir sepertinya Iqbal sudah tidur. Ya sudahlah. Kasian kalau aku harus mengganggunya.

Aku meletakkan HP di atas nakas samping tempat tidur. Untuk saat ini, tidak ada pilihan lain selain tidur. Jam sepuluh masih terlalu sore sebenarnya menurutku.

Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk ke smartphoneku dan di sana nama Iqbal tertulis. Aku mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Rif."

Aku terdiam beberapa saat. Ini bukan suara Iqbal.

"Kak Adit?"

"Iya. Ini gue. Iqbal udah tidur."

"Ohh gitu yah, Kak. Yaudah, biarin Iqbalnya tidur."

"Iya. Lo ada pesan buat Iqbal atau apa? Ntar gue sampein."

"Ngga kok, Kak."

"Gitu yah? Btw lo ga malmingan?"

"Niatnya sih gitu. Tapi gara-gara hujan jadi ngga jadi."

"Wah kita senasib ternyata."

"Hehe iya, Kak."

"Eh? Tunggu-tunggu! Lo punya pacar?"

"Punya."

"Cewek?"

"Iya."

"Jadi, lo sama Iqbal?"

"Kita cuma teman."

"Serius?!"

"Serius, Kak."

"Atau lo yang cuma nganggep dia temen?"

Aku terdiam. Tebakan Adit sangat tepat. Hanya aku yang menganggap Iqbal sebagai teman. Selebihnya, Iqbal bahkan berani menyatakan perasaannya padaku.

"Kok diem, Rif?"

"Eh iya kak."

"Jadi, tebakan gue bener?"

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang