Part X

630 44 43
                                    

Hari ini hari Minggu, tepat satu bulan terhitung sejak aku putus dengan Adit. Meski sudah sebulan, namun tidak ada yang berubah. Perasaan untuk lelaki itu masih sama. Aku sudah berusaha melupakan lelaki itu dengan tidak menghubunginya sama sekali. Aku juga menghapus kontak Adit agar tidak melihat pembaruan statusnya. Namun bukannya mereda, kerinduanku malah seperti terpupuk dan tersirami. Semakin tumbuh subur.

Entah sudah setinggi apa gunung kerinduan dalam hatiku. Dan gunungan rindu itu seolah meledak saat sebuah undangan pernikahan sampai ke tanganku.

Aditya Arizki

dengan

Aviara Shesa

Bohong kalau aku bilang aku tidak menangis membacanya. Dari sekian banyak masalah yang ku hadapi, inilah yang paling membuatku terguncang. Meski aku sudah memprediksi hal ini akan terjadi cepat atau lambat, namun tetap saja menyakitkan. Aku langsung menghubungi Pram dan Ardi setelah membaca undangan dari Adit itu. Mereka yang paling bisa membuatku merasa lebih baik. Apapun keadaannya, mereka berdua selalu ada untukku.

Sekarang aku sedang dalam pelukan Pram. Aku menumpahkan semuanya. Emosi yang sebelumnya tidak pernah ku tunjukkan di depan mereka, sekarang keluar semua. Tangisan, air mata, nafas tersenggal, dan semua tentang seberapa mengenaskannya aku, ku tumpahkan di hadapan Pram dan Ardi.

Mereka tidak bertanya apapun. Hanya memeluk dan menepuk bahuku, memberiku kekuatan untuk menghadapi ini semua. Setelah lumayan lama berada dalam pelukan Pram, aku melepaskannya dan menerima air yang Ardi sodorkan.

"Udah mendingan?" tanya Pram. Aku mengangguk. Setelah menumpahkan semua yang menyesakkan dada, aku merasa jauh lebih baik. Seperti ada beban yang terangkat.

"Ini udah sebulan, memangnya belum bisa ngelupain Kak Adit yah?" tanya Ardi pelan. Mungkin dia takut aku kembali menangis.

Aku menarik nafas dalam. "Nggak ada yang berubah, Ar."

Ardi mengangguk paham. "Nggapapa. Pelan-pelan lo pasti bisa ngelupain Kak Adit."

"Lepaskanlah... Ikatanmu... Dengan aku, biar kamu senang. Bila berat... Melupakan aku...

" Pelan-pelan saja..."

Aku tersenyum mendengar Pram bernyanyi dengan penuh penghayatan. Sudah ku bilang, mereka paling bisa membuatku merasa lebih baik.

"Kita ke pantai, yuk," ajak Ardi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyetujui ajakan cowok itu. Dia benar-benar tahu tempat dimana aku bisa merasa lebih baik.

***

"Kalian kalau mau main, main aja dulu. Ntar gue nyusul," ucapku pada tiga orang yang tadi mengajakku bermain air laut dan foto-foto. Aku ingin menenangkan pikiran dulu sejenak dengan memperhatikan panorama pantai serta laut yang terpampang di depanku.

Setelah cukup lama memandangi laut, aku menujukan pandangan kepada Pram, Ardi, dan Shila yang foto-foto. Aku tersenyum saat pandanganku dan Shila bertemu. Cewek itu melambaikan tangan ke arahku, mengajak untuk ikut bergabung.

"Nanti," balasku dengan suara pelan, namun mulutku jelas bisa terlihat oleh Shila kalau aku mengucapkan kata itu. Shila mengangguk lantas melanjutkan aktifitasnya.

Seminggu setelah aku dan Adit putus, aku memutuskan untuk menyudahi hubunganku dan Shila. Awalnya dia menolak, namun setelah ku yakinkan, akhirnya dia menyetujui putus. Tidak ada yang berubah. Walau kami sudah tidak berpacaran, namun interaksi antara kami masih sama seperti dulu.

Aku mengambil keputusan seperti itu karena aku pikir Shila pantas mendapat seorang yang lebih baik dariku. Dan pada dasarnya, perasaan kami tidak lebih dari sekedar adik dan kakak sehingga berakhirnya status pacaran tidak terlalu berpengaruh.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang