Part P

669 29 11
                                    

"Serius kamu nggak mau sekolah?" tanya Adit.

Aku dan Adit masih di atas ranjang. Rasanya berat banget untuk sekedar bangun. Alhasil kami masih berpelukan dan masih beradu pedang di bawah sana.

"Males banget, Kak."

"Terus kamu mau alasan apa sama ibu bapakmu?" tanya Adit. "Nggak mungkin kamu bilang abis diperawanin kan?"

"Ngawur!"

Adit tergelak. "Abis mau ngomong apa?"

"Gue pamit berangkat sekolah. Tapi ntar ke sini lagi."

"Heleh. Bolos teroos!"

"Ini juga gara-gara lo!"

"Tapi kamu menikmati juga, kan?"

"Ish!" Aku langsung membalikkan tubuh memunggungi Adit.

"Eh jangan ngambek, dong." Adit mengelus punggungku. "Masa kayak gitu doang ngambek."

Aku masih diam. Sebenarnya aku nggak sedang ngambek. Cuma lagi pengen sedikit ngedrama aja.

"Sayang," panggil Adit.

"Rifki sayang."

"Iya deh. Kamu nggak sekolah dulu nggapapa. Tapi jangan ngambek gini dong."

Aku masih bergeming. Ternyata mendengar Adit memohon seperti itu menyenangkan juga.

Adit memelukku dari belakang. Miliknya tepat berada di belahan pantatku. Lelaki itu menggesekkannya pelan. Sial! Lubangku tiba-tiba gatal.

"Jangan digesekkan gitu!"

"Emang kenapa, hmm?" Adit menopangkan dagunya ke bahuku. Aku bisa merasakan deru nafasnya. Lelaki itu semakin mendorong pinggulnya.

"Kak Adit, ih!"

"Kenapa? Mau dimasukin lagi?"

Aku membalikkan tubuh. "Gantian! Aku topnya!"

Adit terdiam kaku. "A-aku."

Aku tersenyum. "Yuk, Kak. Aku udah tegang nih."

"Udah mau jam enam. Cepet bangun, terus beres-beres. Ntar keburu Ardi pulang!"

***

Aku berjalan memasuki rumah dengan langkah yang sedikit sulit. Bagian belakangku masih lumayan perih. Mungkin karena efek permainan ronde dua tadi malam dimana Adit seperti orang kesetanan. Walaupun aku sangat menikmatinya, tapi aku tak menyangka efeknya bisa terasa hingga pagi ini.

Di ruang tengah, ibuku sedang mempersiapkan keperluan untuk ke pasar. Ibuku berjualan sembako di pasar, jadi agak jarang di rumah. Biasanya ibuku berangkat sekitar jam delapan, tapi hari ini sepertinya sedikit lebih pagi.

"Kamu nginep di mana?"

"Di rumah Ardi."

"Itu kok jalannya aneh banget?"

"Tadi nendang batu di depan bu, hehe." Aku nyengir. Semoga saja ibuku tidak bertanya lebih banyak.

"Nggak sekalian nendang tembok?"

"Pengennya juga gitu, tapi ntar rumah kita roboh gimana?"

Ibuku tertawa. "Yaudah, cepet mandi!"

Aku berjalan menuju kamar. Susah payah aku berusaha terlihat berjalan normal. Fix, hari ini aku nggak berangkat sekolah.

"Ibu berangkat dulu, Rif. Kamu jangan kelamaan mandinya, ntar telat!" teriak ibuku.

"Iya, bu." Aku tersenyum di dalam kamar. Aku akan tidur saja. Rencanaku untuk kembali ke rumah Ardi ku batalkan. Lebih baik tidur di rumah sendiri, mumpung ibu berangkat pagi.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang