Part V

577 33 9
                                    

Aku berangkat sekolah bersama Shila, Pram, dan Ardi. Sekarang aku tidak terlalu memikirkan bagaimana pandangan orang lain karena aku punya sahabat-sahabat yang ada bersamaku. Walaupun aku yakin kabar bahwa aku punya orientasi yang berbeda sudah berhembus entah kemana, tapi aku akan menganggap semua baik-baik saja. Toh mereka tidak punya pengaruh yang berarti dalam hidupku. Aku akan baik-baik saja selama Pram, Ardi, dan Shila ada. Yang lain hanya figuran dimana keberadaannya hanya sebagai pelengkap panggung sandiwara ini.

Aku berjalan menuju kelas diiringi tatapan dari hampir semua warga sekolah. Sempat dilanda rasa risau, namun langsung hilang saat ketiga sahabatku berjalan mensejajarkan diri denganku. Bahkan Shila dengan santainya menautkan tangan ke lenganku.

"Lo nggak butuh mereka," ucap Ardi sambil terus melangkah.

Aku tidak menanggapi, hanya mengiyakan ucapan Ardi dalam hati, lantas mensugesti diriku sendiri bahwa aku memang tidak benar-benar membutuhkan penilaian dari orang yang bahkan tidak dekat denganku. Untuk beberapa alasan, aku memang sudah mulai menghilangkan rasa parno saat ditatap oleh banyak orang. Aku hanya harus memantapkan hati bahwa aku tidak akan jatuh hanya gara-gara pandangan mereka.

Beberapa saat kemudian, Shila melepaskan tangannya karena arah ruang kelas sudah berbeda. Kini tinggal kami bertiga yang menjadi pusat perhatian. Sekarang aku yakin kalau satu sekolah sudah mengetahui kabar itu. Aku menghela nafas lantas menghembuskannya kasar. Semoga semuanya akan baik-baik saja.

"Nggak perlu khawatir. Kita bakal terus ada di samping lo," ucap Pram sambil menepuk bahuku.

"Thanks!"

Kami melanjutkan langkah menuju kelas. Tidak berbeda dengan perjalanan tadi, sesampainya di kelas aku juga menjadi pusat perhatian. Lagi-lagi perasaan risau menyerang. Aku mengepalkan tangan, menyalurkan semua perasaan yang sedang bergejolak dalam diriku.

"Ekhem, bau-bau gay nih," celetuk seorang anak di kelasku. Aku langsung menatapnya. Begitu juga dengan Ardi dan Pram, mereka menatap anak itu tajam.

"Widih, ceritanya kalian udah baikan?" Anak itu masih berceloteh. Aku tidak memperdulikan ucapan anak itu dan tetap berjalan menuju tempat biasa aku duduk, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Semalem udah ketemu sama om-nya?" Anak itu tergelak bersama anak-anak lain di sekitarnya. Aku benar-benar menebalkan telinga. Jangan sampai aku lepas kendali.

Baru saja aku ingin duduk, aku dibuat terkejut saat Pram menendang meja di depannya dengan keras. Tangan cowok itu mengepal hingga aku bisa melihat pembuluh darahnya. "Lo ngehina Rifki, itu artinya lo ngehina gue. Sekali lagi gue denger lo ngomong kayak tadi, gue nggak segan-segan ngerobek mulut lo!"

Anak itu malah tertawa. "Wah, lo ngebela si homo? Jangan-jangan lo homo juga."

Wajah Pram memerah. Cowok itu bersiap menerjang anak kurang ajar itu. Namun sebelum Pram melayangkan pukulan, Ardi sudah lebih dahulu melayangkan bogem ke mulut si anak kurang ajar. Anak itu terkapar di lantai.

"Bangs-"

Bugh!

Belum selesai anak itu mengumpat, satu pukulan keras mengenai pelipisnya. Kali ini Pram yang menyumbang kepalan tangan. "Kayaknya lo mau main-main sama gue. Ayo, gue ladenin."

Anak itu berusaha bangkit. Sudut bibinya berdarah dan pelipisnya memerah. Dia masih sempat menyeringai. "Gue bakal bikin kalian nyesel ngelakuin in-"

Satu tendangan ku layangkan ke perut anak itu. Dia langsung terduduk sambil memegangi perutnya.

"Mungkin lo yang bakal nyesel karena melihara mulut lo itu." Aku menatap anak itu tajam. Orang semacam dia harus diajari tata krama berbicara.

"Banci! Kalau berani, sini lawan satu-satu!" tantangnya.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang