23

318 61 70
                                    

"Bagaimana kabarmu?"

Eunha diam saja. Ia terus menggigit bibir bawahnya, merasa gelisah sekaligus canggung bersama namja itu.

Popo yang bertanya meliriknya sekilas lalu menghela pelan. Kembali ia fokus mengendarai mobilnya.

"Kelihatannya baik ya .... Sudah lama kita tak bertemu," jawabnya sendiri sambil tersenyum kecut.

Eunha menatapnya lamat, membuat Popo balas menatapnya.

"YA! Aku tak mau menjadi arwah dua kali, tolong perhatikan jalannya," sarkas Jin, membuat keduanya tersentak dan kembali memandang jalanan sepi itu.

Saat ini mereka tengah menuju ke rumah Eunha dengan mobil Popo. Sedikit informasi tentang namja ini, ia adalah sahabat kecil Eunha. Namanya Pyo Junho, tapi gadis itu punya panggilan kesayangan tersendiri untuknya, yaitu Popo.

"Kenapa kembali ke sini?" tanya Popo lagi.

Eunha menatapnya bingung. "Aku selalu ke sini setiap tahun, kan? Memangnya tidak boleh?"

"Bukan begitu, Hanya saja ... biasanya kau ke Geochang saat ada perayaan saja, bukan?" Popo tersenyum tipis, rasa canggung yang sejak tadi mengganggunya mulai memudar.

"Tidak selalu saat ada perayaan saja kok. Tapi saat ini aku sedang berlibur~," balas gadis Itu. Sama dengan Popo, ia kembali merasa nyaman. Perlahan kedua kakinya naik ke atas dashboard mobil, membuat semua pria di mobil itu mendesis kesal.

"Berlibur ya ... bersama mereka?" Popo melirik kaca mobil, sekilas memperhatikan Jimin dan Taehyung yang sedang bertengkar di belakang sana.

"Oh itu! Aku punya pertanyaan! Sejak kapan kau bisa melihat hantu?" tanya Eunha balik dengan antusias. Ia tak tahu kalau sahabat kecilnya itu bisa melihat hal-hal seperti Bangtan sekarang.

"Omong-omong kami bukan hantu, tapi arwah," sela Suga dengan ekspresi datarnya. Member lain pun mengangguk setuju.

"Sejak aku lahir," jawab Popo singkat.

Eunha hendak bertanya lebih jauh tapi sebelum sempat mengatakannya, Popo malah menanyakan sesuatu yang membuat suasana kembali canggung. "Kenapa tidak pernah membalas pesanku?"

Pertanyaannya seakan mengambang di tenggorokan. Eunha kembali menoleh menatap jalanan sepi itu. Tatapannya sendu dengan perasaan kembali campur aduk.

Sebetulnya hubungan mereka sedikit merenggang sebelum gadis itu bertemu Bangtan. Mereka berkelahi karena Eunha yang terus keras kepala ingin ke Seoul untuk mencari kakaknya sementara Popo melarangnya karena tidak ada satupun saudara gadis itu di sana dan Popo pun tidak bisa ikut tinggal di Seoul karena sudah ada pekerjaan tetap di Geochang, yang berarti ia tak bisa menjaga Eunha lagi. Sejak itu Eunha terus menghindari sahabatnya itu, hingga 5 tahun lamanya.

"Aku ...." Belum sempat Eunha mengatakan sesuatu, Popo tiba-tiba menghentikan mobilnya.

"Sudah sampai, pergilah." Nada lembut namun terkesan tegas itu cukup membuat gadis itu tersentak.

"Wae?" Suara Eunha terdengar bergetar, jelas sekali ia menahan tangis.

Popo menatap dalam mata bulat yang sudah berkaca-kaca itu, membuatnya refleks terkekeh geli.

"Kita sudah sampai. Dasar bodoh, apa yang kau pikirkan? Berpikir aku mengusirmu? Eo? Pabo-ya~" Dengan gemas di usaknya pelan surai panjang yang sejak tadi sudah kusut itu.

Eunha terisak, air matanya sudah mengalir membasahi pipi.

"Bukan begitu ... hiks aku merindukanmu, Popo. Maafkan aku selama ini mengabaikanmu." Dipeluknya erat namja itu. Popo tersenyum simpul lalu membalas pelukannya.

Sementara Bangtan menunjukkan berbagai ekspresi. Ada yang terharu, tak peduli, dan merasa geli sendiri.

Pelukan dramatis itu berlangsung cukup lama dan selesai dengan dehaman Bangtan yang bersahutan.

Eunha perlahan keluar dari mobil, lalu menutup pintunya, begitu juga dengan Bangtan. Mereka masih setia berdiri di pinggir jalan itu sampai mobil Popo benar-benar hilang dari pandangan.

Perlahan gadis itu menoleh ke belakang dan dengan senyum manisnya ia melangkah panjang memasuki halaman rumahnya.

"Eomma, abeoji! Cha Eunha sudah pulang~!" serunya saat sudah sampai di teras rumah.

Pintu rumah itu terbuka perlahan dan menampilkan pria paruh baya yang tampak baru bangun dari tidurnya.

Mata kecil pria paruh baya itu menyipit, hendak melihat jelas siapa yang ada di hadapannya kini. Namun rasa kantuk membuatnya kesulitan membuka lebar matanya hingga ia harus mengusap-usapnya dulu.

"Siapa kau?" tanyanya dengan jemari yang masih sibuk dengan matanya.

Eunha mendecih lalu menjawab dengan malas. "Aku anakmu, ahjussi."

Pria itu tersentak. Lalu tiba-tiba menutup pintunya.

"A ... abeoji?" Eunha tercengang.

Entah apa yang terjadi di dalam sana, terdengar jelas ada sesuatu yang jatuh dan pecah. Lalu tak lama pintu itu terbuka kembali dan muncul lah pria baruh baya itu bersama istrinya yang sedang menggenggam pisau serta kentang.

Mereka diam sambil saling bertatapan selama beberapa menit.

"Aish, haruskah kau mengangguku memasak hanya untuk melihat dirinya?! Aigoo!" Wanita paruh baya itu meronta melepaskan gandengan suaminya dan dengan kesal masuk kembali ke dalam rumah.

Namun baru beberapa langkah, Eunha berlari dan memeluknya dari belakang. "Dasar kejam! Setidaknya beri aku ucapan selamat telah pulang!" sungutnya yang semakin mempererat pelukan.

"Selamat telah pulang. Sudah kan? Sekarang lepaskan, masakanku sudah gosong di belakang sana," balas wanita paruh baya itu yang tak lain adalah eomma Eunha.

Eunha mendecih namun tak berniat melepaskan pelukan itu sama sekali. "Cih ya sudah, ayo-ayo~! Aku akan membantu eommaku memasak~."

"Tak perlu, kau hanya akan mengacau," balas eommanya sambil menepis pelan tangannya. Namun Eunha sama sekali tak peduli dan semakin mempererat pelukan, mengabaikan eommanya yang mulai merasa sesak.

"Aish! Uhuk! Ya! Lepaskan! Ya Cha Seoeon urus anakmu ini!"

"Aigoo~ Hahahah!"

***



Note :
- Abeoji : Ayah

Ghost7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang