"Karena kamu, my best partner."
"Hah?! Jawaban macam apa itu? Alasanmu tidak masuk akal. Jawabanku, No!! Aku tidak mau menikah denganmu." Irene mematikan laptop dan mulai membereskan barang-barangnya.
"Pembicaraan kita nggak ada hasilnya. Sepertinya aku harus memasrahkan jodohku pada Ibu..."
"Irene!!" Ian menyentak tangan Irene, membuat wanita itu kembali terduduk. Ada rasa gusar di wajahnya melihat sifat keras kepala Irene.
"Aku tidak bisa terima alasanmu Ian. Aku tidak melihat untungnya pernikahan ini untukmu. Atau kamu ada alasan lain?" Irene menatap Ian dengan tatapan menyelidik, sementara yang ditatap justru mengalihkan pandangan.
"Ian? Pokoknya aku nggak mau terima tawaranmu sebelum tahu alasanmu. Pikir dong Ian, kalau kita menikah, seumur hidup kita akan bersama! Seumur hidup lho!! Bisa kamu bayangin nggak? Menghabiskan waktu seumur hidup dengan wanita sepertiku?"
"Bisa. Malah aku nggak bisa bayangin dengan wanita lain." Ian menjawab santai, membuat Irene mendengus kesal.
"Alasan!! Aku butuh alasan bagus!! Pikirkan alasanmu melakukan semua ini. Sebelum itu, jangan harap aku bakal terima tawaranmu." Irene beranjak berdiri, bersiap-siap untuk pergi dari tempat itu. Tapi sebelum itu, Ian kembali menahan tangannya.
"Duduk!"
"Apa sih Ian? Aku mau pulang..."
"Duduk. Kamu tanya alasan sebenarnya, aku akan jawab. Duduk!!" dengan kesal Irene kembali duduk. Menurutnya percakapan mereka terlalu bertele-tele, lebih tepatnya Ian yang bertele-tele.
"Apa?" tanyanya.
"Huft, sebenarnya mama juga menyuruhku cepat-cepat menikah Ren," Ian menghela napas, wajahnya tampak mendung.
Irene terlihat terkejut, namun wanita itu berusaha menyembunyikan perasaannya dan mencoba menanggapi dengan tenang, "Lalu masalahnya dimana? Kamu nggak kekurangan wanita. Kamu bisa pilih mereka sesuka hatimu. Mereka pasti akan dengan senang hati menerimamu. Kenapa harus menikah denganku?" tanya Irene dengan hati yang gamang.
Sebenarnya pembicaraan seperti ini bukan pembicaraan baru lagi. Irene pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Mama Inge (Mama Ian) pernah menyinggung hal ini berkali-kali. Setiap kali Mama Inge membicarakan topik ini, selalu berhasil membuat jantung Irene berdegub kencang.
Ada perasaan was-was, tidak terima dan sakit dihatinya. Ya, Irene memang pernah memiliki perasaan pada Ian. Pernah. Itu artinya sekarang sudah tidak lagi. Hal itu yang berusaha diyakini oleh Irene. Namun entah mengapa pembicaraan seperti ini selalu membuatnya sensitif.
Membayangkan Ian menikah dengan wanita lain, ada perasaan tidak rela yang mendalam. Irene tidak tahu ini perasaan apa. Apakah perasaannya masih belum sepenuhnya menghilang? Mengapa hatinya berdesir dan jantungnya berdegub sangat kencang ketika Ian memintanya untuk menikah dengannya?
"Oke, aku jawab pertanyaanmu satu persatu. Yang pertama, benar katamu, aku memang tidak kekurangan wanita, namun... Tidak ada wanita yang membuatku berpikir untuk menghabiskan waktu seumur hidup bersama,"
"Kedua, kenapa menikahimu? Karena hanya kamu yang terpikirkan di otakku. Hanya kamu yang membuatku berpikir, 'ah, sepertinya aku akan baik-baik saja menghabiskan waktu seumur hidup dengan si culun ini'. Kenapa? Karena pada kenyataannya kita sudah menghabiskan waktu dua pertiga dari hidup kita secara bersama-sama. Dan selama waktu itu kita belum pernah mengalami masalah apa-apa. Persahabatan kita tetap terjalin sampai saat ini. Jadi kalau kita menikah, aku yakin pernikahan kita akan berlangsung selamanya." Ian berkata dengan penuh percaya diri. Senyum puas tersampir di bibir seksinya. Dia tampak sangat yakin dengan perkataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...