Ian menegarkan diri, menatap reaksi dari kedua calon mertua di depannya. Ia sudah tidak berpikir dengan pemilihan kata-kata lamarannya apakah sudah tepat atau tidak. Ia terlalu nervous untuk menelaah semuanya.
Reaksi yang sama ditunjukkan oleh kedua orangtua Irene. Mereka hanya melihat Ian dengan tatapan melongo, seolah-olah mereka tidak yakin dengan apa yang mereka dengar.
"Jadi... Jadi, laki-laki yang mau melamar Irene itu kamu Nak?" tanya Ibu Silvi dengan antusias. Tatapan matanya tampak berbinar-binar. Ian menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan itu.
Ibu Silvi langsung berdiri dan duduk di sebelah Ian. Beliau merangkum kedua tangan Ian dengan penuh semangat.
"Ibu terima lamaranmu Nak. Kapan kalian akan menikah?" tanya Ibu Silvi dengan antusias.
"Ibu!" Pak Adi menyela, seolah-olah memberi peringatan pada istrinya. Bu Silvi melihat tatapan mata suaminya. Beliau menunduk dan secara perlahan kembali ke sisi suaminya.
"Jangan membuat keputusan gegabah. Ini menyangkut masa depan putri kita," bisik Pak Adi. Bu Silvi terlihat akan membantah, namun mengurungkan niatnya.
"Begini Nak Ian, pernikahan bukan perkara kecil yang mudah diputuskan begitu saja. Banyak hal-hal yang menjadi pertimbangan kami selaku orangtua dari Irene. Kalau boleh tahu, hal apa yang menyebabkan Nak Ian melamar anak Bapak? Setahu Bapak, hubungan kalian hanya sebatas pertemanan. Atau ada sesuatu yang tidak Bapak ketahui?" Pak Adi menatap Ian dengan tegas. Sorot matanya nampak menghunjam, seolah-olah ingin melucuti semua perasaan yang terpendam.
Ian tidak gentar. Ia membalas tatapan itu dengan keteguhan yang luar biasa. Dari sorot matanya, nampak terlihat bahwa ia bersungguh-sungguh dengan niatannya.
"Saya mengenal Irene lebih dari separuh hidup saya. Pun Irene sebaliknya. Kami saling memahami dan menyayangi satu sama lain. Tidak ada wanita lain yang bisa mendampingi saya selain Irene. Dia adalah wanita terbaik untuk saya. Untuk itu, saya memohon pada Bapak untuk mengijinkan saya mempersuntingnya."
Pak Adi tampak kehilangan kata-kata, sementara Bu Silvi terlihat berkaca-kaca. Beberapa kali Bu Silvi menarik tangan suaminya, memberi kode agar pria itu mau menerima lamaran Ian, namun Pak Adi masih tetap bersikeras dengan pendiriannya.
"Ehem!! Apa yang bisa kamu berikan pada putri Bapak? Jangan bicarakan materi di sini, karena bukan itu maksud Bapak." Kedua pria itu kembali bertatapan, nampak saling mengukur keinginan lawan bicara.
"Saya akan menjadikan kebahagiaan Irene sebagai prioritas utama dalam hidup saya. Meletakkan kebahagiaannya di atas kebahagiaan saya sendiri. Tidak pernah menyakitinya. Menjaganya dengan nyawa saya." Ian tahu perkataannya sedikit berlebihan, tapi entah mengapa hal itu merupakan ungkapan dari dasar hatinya. Ia bersungguh-sungguh dengan janjinya.
"Hanya itu?" tanya Pak Adi tiba-tiba, membuat Ian kehilangan kata-kata. Adakah dari perkataannya yang salah?
"Sa-saya akan melakukan apapun yang Bapak minta," ucapnya terbata-bata.
"Bapak hanya mendengar kata-kata membahagiakan dan menjaga. Tidak ada kata-kata cinta. Apa ada perkataanmu yang Bapak lewatkan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu semakin membuat Ian gugup. Sepertinya ia harus sedikit berimprovisasi untuk meyakinkan orangtua Irene.
Cinta? Itu adalah kata terlarang yang bahkan ia sendiri enggan untuk mencari tahu artinya. Di benaknya, tidak ada yang indah dalam cinta selain perasaan saling menyakiti.
Ian tidak bisa memberikan hal itu pada Irene karena ia pun takut terluka. Yang bisa diberikannya hanyalah perasaan sayang. Ya, ia sangat menyayangi Irene. Bahkan rasa sayangnya itu setara dengan rasa yang diberikan terhadap Mamanya. Bukankah dengan begitu Irene sudah menempati sudut hatinya yang terdalam? Menjadi salah satu orang terpenting dalam hidupnya.
"Bapak bercanda Nak Ian." Pak Adi menepuk-nepuk bahu Ian, membuyarkan lamunan yang semakin menjalar. "Bila Nak Ian bersikukuh untuk menjadikan putriku yang jauh dari sempurna itu sebagai istri, maka kami sebagai orangtua hanya bisa merestui..."
"Ja-jadi, lamaran saya diterima Pak?" tanya Ian antusias. Tanpa sadar tubuhnya telah bergerak mendekati Pak Adi dan menggenggam tangan beliau.
Pak Adi tersenyum kecil. "Ya, kami merestuimu. Kami sudah menganggapmu sebagai anak sendiri. Kami tahu bagaimana watakmu. Kami menyerahkan kebahagiaan Irene padamu. Jaga putri kami..."
"Terima kasih Pak! Saya akan menjaga Irene dengan baik, saya berjanji!"
"Tapi, jangan terlalu senang dulu," perkataan Pak Adi menyurutkan antusiasme Ian. Dia menatap Pak Adi dengan sejuta tanya di wajahnya. Terlihat rasa was-was dan kegelisahan di sana. Perasaan Ian menjadi tak enak.
"Pernikahan ini, bukan kami yang menjalani, tapi kalian berdua. Boleh jadi kami telah merestuimu untuk mempersunting putri kami, tapi keputusan untuk menerima ataupun menolak lamaran ini sepenuhnya berada di tangan putri kami. Bila putri kami..."
"Irene pasti setuju Pak! Saya yakin itu!" Ian tampak sangat percaya diri, membuat Pak Adi dan Bu Silvi saling bertukar pandang. Tidak ingin menerka-nerka terlalu jauh, mereka memanggil Irene. Mendudukkan Irene di tengah-tengah mereka, membuat Irene menjawab permintaan Ian.
Malam itu diakhiri dengan jawaban "Ya," yang keluar dari mulut Irene. Hembusan napas lega terdengar memenuhi ruang tamu sempit itu.
***
Pernikahan itu diputuskan akan dilakukan sebulan kemudian. Sebenarnya Ian menginginkan lebih cepat, namun karena keterbatasan persiapan, pada akhirnya acara itu mundur dari rencana yang telah ditetapkan.
Ian juga tak mengerti, mengapa ia ingin mempercepat acara itu. Rasanya ia ingin sesegera mungkin mengikat Irene sehingga wanita itu tak dimiliki oleh siapapun. Mungkin ini adalah perasaan takut kalah bersaing. Ya, ia takut Irene dimiliki oleh orang lain.
Selama sebulan penuh mereka dilarang untuk bersitatap dan bertemu langsung. Dalam tradisi jawa istilahnya pingitan. Sebenarnya Ian keberatan, namun apa mau dikata, ia harus tunduk dengan tradisi yang telah diturunkan secara turun-temurun itu.
Perasaan rindu mulai datang mendera. Ian sudah terbiasa melihat Irene setiap hari. Mengunjungi wanita itu dan menggodanya. Tidak satu hari pun berlalu tanpa pertemuan-pertemuan kecil mereka. Pernah suatu ketika Ian bertugas di luar kota selama empat hari. Selama itu pula mereka tidak pernah putus komunikasi. Ian selalu mengganggu Irene dengan meneleponnya tiap hari.
Hari ini adalah hari ketiga mereka tidak bertemu. Ian tidak bisa menahan diri lagi. Tangannya sudah gatal untuk menghubungi Irene kembali. Bukankah hanya dengan melakukan panggilan suara tidak akan merubah tradisi itu?
Ian mengumpulkan niat hanya untuk menghubungi Irene. Niat itu baru saja terkumpul ketika ia mendengar ponselnya berdering. Ian melihat panggilan itu. Hatinya membuncah riang begitu ia melihat nama si penelepon, "si culun" sedang meneleponnya.
Ian serta merta langsung mengangkat panggilan itu. "Kenapa telepon? Kangen?" ucapnya dengan percaya diri. Senyum tipis tersemat di bibir seksinya.
"I-ian... Ku-kupikir, kita harus membatalkan pernikahan ini..."
"A-apa?!!"
"Kita harus membatalkan pernikahan ini Ian!!"
***
Happy Reading 😘
NB : Maap dipotong ditengah2, ngantuk genk. Met bobo semuanya 😘😴😪
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...