"Aku ingin meminta hakku sebagai suami yang tidak kudapat semalam." bisik Ian dengan sensual, membuat bulu kuduk di tubuh Irene merinding secara bersamaan.
Irene merasa keselamatannya sedang terancam. Masih dengan mata tertutup, tanpa berpikir panjang ia berteriak dengan keras, menendang serta mencakar Ian secara membabi buta.
"Aaarrrgghhhh!!!"
DUUUKK!! DUUKKK!! DUUUKK!!
"Aaauuwwww!! Auuwww!! Auuuuuwww!! Hentikan Ren!! Aauwww!! Kena juniorku!! Aaauww!! Aduuuuhh!!" terdengar suara Ian mengaduh-ngaduh, sementara Irene tidak menghentikan pukulannya. Merasa memukul udara, Irene membuka mata. Ia melihat Ian tengah mengaduh-ngaduh sembari memegang selangkangannya. Wajahnya terlihat meringis kesakitan.
"Sa-salah siapa mau aneh-aneh!!" ucap Irene menelan rasa bersalah yang mulai muncul di dada.
"Parah kamu Ren! Serius sakit banget!! Duhh..." Ian masih menggosok-gosok selakangannya. "Aku hanya bercanda! Ngerti nggak sih?! Duuuh..."
"Bodo amat!! Mau bercanda, mau serius bodo amat!! Makanya jangan macam-macam sama aku!" Irene membalik tubuhnya dan memutuskan untuk keluar kamar, meninggalkan Ian yang masih merintih kesakitan. Sepertinya masa depan Ian benar-benar suram.
***
Irene berjalan mondar-mandir. Tidak ada yang bisa dilakukan di rumah yang hampir kosong itu. Di ruang tamu maupun ruang keluarga kosong melompong. Ia tidak bisa menonton TV atau sekedar merebahkan tubuhnya di sofa. Hanya di kamar utama yang ada perabotnya. Bila ia ke kamar, itu artinya ia akan bertemu dengan pria usil itu!!
Irene memutuskan untuk ke dapur dan mulai memakan apa yang ada di kulkas. Tidak cukup kenyang, ia memilih untuk merebus mie. Bau mie yang semerbak mengundang sang pemilik rumah untuk berkunjung ke dapur juga.
Ian datang dengan wajah yang meringis. Ia menarik kursi dan duduk dengan tenang. "Aku lapar," keluhnya sembari memegang perut. Irene melirik sekilas. Sebenarnya dia masih kesal dengan Ian, tapi melihat pria itu membuatnya menjadi tidak tega. Irene membuka dua bungkus mie lagi dan mulai memasaknya. Ia tambahkan sawi dan potongan cabe kecil. Kalau dalam menyantap mie rebus, Ian dan Irene memiliki selera yang sama.
Tujuh menit kemudian, Irene menuang mie itu ke mangkok besar. Ia mengambil dua piring. Satu piring untuknya dan piring yang lain untuk Ian.
"Nih, makan," ujarnya seraya menyodorkan piring berisi mie yang masih panas.
"Makasih Iyeeen. Sayang kamu," ucap Ian dengan nada merayu sembari menyendok mienya dengan lahap. Wajahnya kembali terlihat ceria. Mereka makan dalam diam. Irene melirik Ian. Perasaan bersalah kembali menggelayuti dadanya.
"Masih sakit?" tanyanya.
"Masihlah. Jangan salahkan kalau nanti kita nggak bisa punya anak."
"Siapa yang mau punya anak sama kamu?!" suara Irene kembali meninggi.
"Lho? Bukannya kemarin kamu pengen punya anak?" Ian masih asyik mengunyah mie, senyum usil tersungging di sudut bibirnya.
"Mana ada!! Tidak ada skinship!! Berani pegang-pegang, aku gampar!!"
"Tidak ada persyaratan itu dalam pernikahan kita, sayang." Ian menjawab santai, membuat Irene semakin gregetan.
"Selagi kamu menyinggungnya, mari kita membahasnya sekarang. Peraturan-peraturan dalam pernikahan ini!"
"Sudah terlambat. Tidak ada peraturan. Kita sudah menikah sekarang. Aku suamimu. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau..."
"Ian!!" Irene merebut mie pria itu, membuat Ian mencebikkan wajah. "Kamu janji, bahwa tidak akan ada yang berubah dari hubungan kita!! Kamu mengatakan hubungan kita akan sama dengan sebelumnya!! Jangan lupakan janji itu!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...