"Pasangan suami istri sesungguhnya itu melakukan hugging, kissing, flirting, petting, making love. Its all. Dengan melakukan itu semua, aku yakin kamu akan lebih memahami karakter novelmu. Bagaimana?" tanya Ian. Ada kilatan tak biasa pada netra coklatnya. Pria itu menatap Irene dengan tajam. Membuat wanita itu kebingungan.
"A-apa menurutmu seperti itu?" tanya Irene ragu. Ada seringai puas di sudut bibir Ian begitu melihat hati Irene mulai goyah.
"Ya Ren. Kupikir ini cara yang efektif. Kamu bisa menuangkan apa yang kamu rasakan. Contoh, kamu akan menulis adegan ciuman, tapi kamu belum pernah merasakan, otomatis tulisanmu akan terkesan hambar. Tapi kalau kamu sudah mengalami sendiri, kamu bisa menjabarkan, rasa ciuman itu seperti apa. Mau mencobanya sekarang?" Ian mencondongkan tubuh. Suaranya dalam. Penuh bujuk rayu dan tipu muslihat.
Tubuh Ian secara perlahan mendekat. Hembusan napas hangatnya mulai membelai pipi Irene, membuat bulu kuduk wanita itu seketika meremang. Ketika dua bibir itu akan saling bertaut, lagi-lagi Irene memalingkan wajah sembari menahan dada Ian.
"Bi-bisakah pelan-pelan? Mak-maksudku tidak langsung berciuman?" Irene menundukkan wajah yang memerah seperti buah tomat matang.
Ian ingin mengutuk kebodohannya sendiri. Ia lupa, kalau Irene sangat polos. Wanita itu tidak pernah memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan laki-laki. Tentu saja tindakan Ian yang begitu ingin menyentuh dan membelai tubuhnya akan membuat wanita itu ketakutan dan tidak nyaman.
"Misalnya seperti ini?" Ian tiba-tiba memeluk Irene. Mendekap tubuh wanita itu dalam pelukan. Irene yang terkejut hanya bisa diam. Tidak menolak ataupun berontak. Ia membiarkan tubuhnya berada dalam dekapan hangat pria itu.
Irene bisa merasakan debaran jantungnya berpacu lebih cepat. Pelukan Ian sangat hangat. Dada berbulu yang dibencinya begitu kokoh dan kuat. Irene juga bisa mendengar detak jantung Ian. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang berdebar-debar, Ian pun merasakan hal yang sama!!
"Ren..."
"Y-ya?"
"Bagaiamana perasaanmu?"
"Maksudnya?" Irene bertanya bingung.
"Apa kamu sudah bisa memberi gambaran rasanya berpelukan? Apa melakukan hal ini berguna untuk novelmu?" Irene tidak langsung menjawab. Ia menelaah perkataan Ian.
Kalau dipikir-pikir, perkataan Ian ada benarnya. Sekarang Irene bisa tahu rasanya berpelukan. Ternyata tubuh seorang pria sangat kuat namun hangat. Irene betah berlama-lama berada di pelukan Ian.
Merasakan sebuah pelukan memberikan Irene gambaran bagaimana mendiskripsikan rasa itu dalam kata-kata. Ia tidak perlu membayangkan bagaimana rasanya, karena ia sudah mengetahuinya, dan Irene sangat menyukai perasaan itu!!
"Ya," jawab Irene perlahan. Seringai kemenangan muncul di sudut bibir Ian.
"Jadi bagaimana? Mau mengikuti saranku?" suara Ian terdengar sangat bersemangat.
"Ya?? Ya... Tapi pelan-pelan. Ma-maksudku jangan terburu-buru..."
Sebenarnya Ian sudah sangat tidak sabar. Tubuhnya sudah memberontak minta dipuaskan. Namun pria itu sangat memahami keadaan. Ia sangat mengenal Irene. Bila ia terlalu menekan dan menuntut Irene, ia khawatir wanita itu akan ketakutan dan menjauh. Ian tidak ingin hal itu terjadi.
Apa yang didapatnya hari ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Bagaimana tidak? Ia sudah berhasil membawa Irene dalam dekapan tubuhnya. Kini ia hanya perlu menuntun Irene secara perlahan-lahan hingga wanita itu siap membuka diri untuknya. Ian harus lebih bersabar lagi!!
"Langkah awal, bagaimana kalau malam ini dan malam-malam selanjutnya kita tidur berpelukan? Mungkin dengan melakukan hal ini, kamu akan segera terbiasa," bujuk Ian penuh rayuan.
"Hem..." Irene menganggukkan kepala.
"Mau tidur sekarang?"
"Laptopku masih nyala..."
"Akan kumatikan." Ian segera menjangkau benda tipis berbentuk persegi panjang itu dan mematikan dengan cepat setelah sebelumnya menyimpan data Irene.
"Sudah. Ayo kita tidur sekarang." Ian menarik tubuh Irene hingga terbaring di sebelahnya. Kemudian ia merengkuh tubuh wanita itu hingga bergelung di dadanya dengan nyaman. Ian menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka.
"Bagaimana? Nyaman?" tanya Ian kembali. Irene hanya bisa mengangguk. Rasa berpelukan ketika duduk sangat berbeda dengan posisi berbaring. Jantung Irene berdentum lebih cepat. Irene khawatir Ian bisa mendengar debar jantungnya yang tak beraturan.
"Mau coba ciuman?"
"Ihh, Ian!!" Irene mencubit pinggang pria itu.
"Auww ampun Ren. Canda Ren. Tapi kalo kamu mau, ya nggak nolak juga, hehe." Ian mengerling genit.
"Hisshh!!"
"Met tidur Ren, cup..." Ian mencuri satu kecupan di kening Irene dengan cepat. Membuat wanita itu kembali mencubit lengannya. Ian hanya terkekeh menyebalkan.
Irene merasa panas di bagian keningnya. Seperti ada bara api di sana. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ada debaran aneh di hatinya. Debaran yang tak biasa. Debaran yang dulu pernah dirasakannya. Debaran yang pernah hilang karena kecewa. Akankah debaran itu kembali menyapanya?
***
Selepas malam mereka tidur bersama dalam posisi berpelukan, Ian menjadi lebih berani melakukan skinship. Tak terkecuali pagi ini.
Irene tengah asyik memasak. Ia tidak mendengar suara langkah kaki mendekat. Tiba-tiba saja sepasang tangan kokoh sudah membelit pinggang rampingnya. Kecupan hangat mendarat di pelipisnya.
"Pagi." Suara serak dan seksi itu membelai telinganya. Irene terlonjak kaget. Ia berusaha melepaskan diri dari belitan bak pyton itu.
"A-apa-apaan sih Ian?! Lepas!!"
"Nggak mau. Suami istri pada umumnya juga melakukan hal seperti ini," ucapnya mengantuk. "Kenapa bangunmu selalu pagi sih? Bisa tidak, ketika aku bangun kamu masih di sisiku? Aku kesal melihat ranjang di sisiku kosong," keluh Ian penuh drama.
"Kamu ngomong apa sih? Otakmu nggak lagi bermasalah kan? Lepasin aku. Aku masih belum selesai masak..."
"Nggak usah masak. Kita gofood aja. Kita lanjutin yang tadi malem." Ian menjulurkan tangan. Mematikan kompor listrik dan langsung membopong tubuh Irene ala bridal style.
"Ian!! Kamu mau ngapain?! Turunin aku!!"
"Entar aku turunin di ranjang."
"Ian!! Turunin nggak?!! Macam-macam aku getok pake teflon!!" Ian tidak mengindahkan ancaman Irene. Pria itu tetap melangkah dengan mantap. Membawa tubuh istrinya masuk ke dalam kamar.
Ian membaringkan tubuh Irene di atas ranjang. Kemudian ia merengkuh tubuh Irene dari belakang. Mengecupi bagian belakang kepala Irene dan kulit lehernya yang terlihat.
"Aku ngantuk Ren. Biarkan seperti ini dulu."
"Kamu ngantuk, akunya enggak. Aku mau masak..." Irene bergerak gelisah. Ia tidak nyaman dengan keintiman yang begitu tiba-tiba.
"Seharian kita di sini. Berpelukan. Aku suka aroma tubuhmu." Ian mengendus-ngendus tubuh Irene, membuat wanita itu jengah dan risih.
"I-ian... Ini tidak benar... Ini tidak sesuai dengan..."
"Apa yang kita lakukan sekarang ini juga dilakukan pasangan suami istri pada umumnya. Bila kamu tidak nyaman, bayangkan saja kamu melakukan ini demi novelmu. Sekarang, diamlah."
Irene seketika diam. Ia membiarkan Ian mengecupi kepala dan bagian belakang lehernya. Beberapa menit kemudian, napas halus mulai terdengar. Menandakan pria itu telah kembali tertidur pulas.
Irene membalik tubuhnya dan menatap Ian dengan sendu. Ia membelai pipi pria itu.
Bukannya aku tidak mau menjadi lebih dekat denganmu, Ian. Aku hanya takut akan kembali mencintaimu. Aku takut kembali kecewa dan sakit hati. Apakah kamu bisa menjamin hatimu tidak akan pernah berpaling. Apakah pernikahan ini akan mampu menahan hatimu? Sedangkan kepastian perasaanmu tidak pernah kuketahui.
***
Happy Reading 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...