Ch 15 - Mendekor Rumah

995 124 1
                                    

Irene sangat memahami kondisi tak biasa ini. Mata Ian menguncinya, membuatnya terhipnotis. Irene mulai terbuai. Wajah itu semakin mendekat. Irene mulai menutup mata.

Lima senti ...

Dua senti ...

Tiba-tiba ingatan perkataan Ian berkelebatan di pikiran, membuat kesadaran Irene kembali. Ia membuka mata dengan cepat. Setengah senti sebelum bibir Ian menyentuhnya, Irene memalingkan wajah. Ia melepas rangkuman tangan dari wajah Ian dan berdiri dengan cepat.

"Se-sepertinya aku harus mandi dulu!" ucapnya seraya berbalik dan pergi ke kamar. Meninggalkan Ian yang masih duduk termangu sendiri.

Wajah Irene memanas. Ia ingin mengutuk kebodohannya sendiri. Hampir saja ia dan Ian berciuman!! Betapa bodohnya?!

Irene belum siap dengan semua keintiman ini. Ia belum menata hatinya dengan benar. Ia belum bisa menerima konsep berpikir Ian. Irene masih butuh waktu!!

Irene berlama-lama mandi sembari merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana ia akan menghadapi Ian setelah ini? Padahal situasi mereka berdua sebelumnya sudah tidak begitu canggung lagi?

Ditengah lamunan, terdengar bunyi pintu kamar mandi diketuk.

"Ren, jangan lama-lama mandinya. Aku tunggu di mobil."

"I-iya ... " jawab Irene gelagapan.

Irene cepat-cepat menyelesaikan mandinya. Kemudian ia kembali ke kamar dan membongkar koper yang belum sempat di tata. Ia memilih celana jeans dan kaos berwarna hitam. Ia taburkan bedak marck di wajah cantiknya  dan lip gloss tak berwarna di bibir tipisnya. Sementara rambut ia cepol ke atas. Ia memakai kembali kacamata minusnya.

Irene menatap tampilannya di cermin. Sungguh berbeda jauh dengan Ian. Akankah pria itu malu berjalan bersisian dengannya?

Tidak percaya diri dengan penampilannya, membuat Irene membongkar kembali dompet rias. Berharap menemukan sesuatu yang membuatnya bisa lebih cantik lagi.

Semenit kemudian, ia mendengar suara klakson mobil. Irene melupakan niat awal dan tergopoh-gopoh berjalan keluar. Ia melihat Ian sudah berada di dalam mobil.

Irene mengunci pintu rumah dan masuk ke dalam mobil.

"Maaf, lama," ucapnya tanpa memandang wajah Ian. Pria itu tidak menjawab, hanya bergerak mendekat. Irene terkesiap. Tubuhnya mulai menegang. Ketika jarak mereka hanya tersisa lima senti, Irene cepat-cepat menutup mata. Sepertinya Ian berniat untuk melanjutkan ciuman yang tertunda tadi?

Satu detik ...

Lima detik ...

Sepuluh detik ...

Irene merasa ada sesuatu yang membelenggu tubuhnya. Ia cepat-cepat membuka mata dan mendapati sabuk pengaman telah terpasang sempurna.

"Jangan lupa pasang safety belt," ucap Ian datar. "Sudah siap? Tidak ada lagi yang tertinggal?" tanyanya. Irene menanggapi dengan anggukan. Dadanya masih berdebar sangat kencang. "Kita berangkat sekarang," tegasnya.

Mereka pergi ke pusat mebel terbesar dikota Surabaya. Awalnya, selama di perjalanan terjadi kecanggungan. Tapi kecanggungan itu mencair begitu mereka sampai di tempat tujuan.

Irene begitu antusias melihat banyaknya pilihan perabot. Matanya berbinar-binar cerah. Tanpa sadar ia menarik tangan Ian kesana-kemari. Ian hanya bisa pasrah.

Senyum kecil merekah di sudut bibir Ian. Raut wajahnya menghangat begitu melihat wajah Irene. Ian mengutuk kebodohannya sendiri. Ia tadi berinisiatif mencium Irene!! Mencium aroma tubuh Irene membuat hormon testosteronnya berpacu dengan cepat. Bibir Irene terlihat sangat nikmat. Bibir mungil namun basah. Seperti apa rasa bibir itu? Apa semanis dan sekenyal yang dipikirkannya?

Dorongan hasrat mulai meluap. Dan itu bermuara pada inti tubuhnya. Tanpa sadar tubuh Ian bergerak mendekat. Ian sengaja mendekat secara perlahan, memberi kesempatan wanita itu untuk menolak. Ketiba tubuh Irene diam terpaku, hatinya bersorak gembira. Ia yakin Irene tidak akan menolaknya. Namun semua itu impian itu harus pupus ketika di detik terakhir Irene memalingkan wajah. Irene menolaknya!!

Wajar saja sih sebenarnya. Selama ini hubungan mereka tidak pernah seintim ini. Irene juga telah meminta untuk memberinya waktu. Ian saja yang tidak sabar dan menggunakan kesempatan yang ada.

Ian berharap, tindakannya tadi tidak mempengaruhi Irene dalam mengambil keputusan. Jika iya, siap-siap saja ia berpuasa selamanya!!

***

"Ian..."

"Hem??"

"Gajimu berapa sih?" tanya Irene. Mereka sudah berada di dalam mobil. Hari itu mereka sudah selesai berbelanja perabot. Semua dibayar secara cash. Untuk itu Irene begitu takjub. Berapa banyak isi tabungan Ian mengingat betapa mudahnya tadi pria itu menggesek debit cardnya.

"Kenapa kepo?" Ian melempar seulas senyum kecil.

"Aku heran. Benar-benar heran. Coba aku hitung kasar ya. Biaya pernikahan habis seratusan, uang mahar dua ratusan, belanja tadi lima puluhan, belum lagi harga mobil dan rumah..."

"Mobil sudah lunas. Rumah belum." Ian menjawab santai.

"Ya, maksudku itu. Berapa harga mobil ini?" tanya Irene sembari mengelus jok BRV berwarna putih itu.

"Tidak semahal kelihatannya. Untuk apa sih Ren kamu tanya hal-hal seperti ini?"

"Aku kepo. Berapa gaji karyawan asuransi hingga bisa mengumpulkan uang kisaran lima ratus juta lebih? Kamu nggak lagi hutang kan Ian?"

"Aku punya hutang. Cicilan rumah."

"Maksudku selain rumah. Uang yang lain-lain itu kamu dapat darimana? Dari gajikah?"

"Penghasilan kan nggak selalu dari gaji Ren. Tenang saja Ren, uangnya insha Allah halal. Tidak dari hasil tipu-tipu. Aku akan menafkahi istri dan anakku dengan uang halal. Agar hasilnya berkah." Ian menjawab santai. Ia tidak melihat semburat merah di pipi Irene begitu mendengar kata "istri" dan "anak". Entah mengapa Irene merasa seperti dikejar-kejar pria itu untuk memberi jawaban atas pertanyaannya.

"Suka-suka kamulah." Irene memalingkan wajah dan berpura-pura fokus pada ponsel.

***

Sore itu perabot pesanan mereka langsung diantar ke rumah. Mengingat waktu cuti Ian yang sebentar, membuat Irene dan Ian bergerak cepat.

Mereka bekerjasama mendekorasi ruang tamu yang bernuansa netral itu. Irene sengaja memilih warna abu-abu, agar kesan maskulinitasnya tetap ada, tapi dengan tetap tidak meninggalkan kesan feminin.

Tirai utama, sofa minimalis maupun karpet lantai berwarna abu-abu. Sementara di sisi sofa terdapat lemari hias minimalis yang mana di dalamnya diletakkan tanaman hias kecil.

Irene juga menambahkan tanaman hias di beberapa sudut rumah. Menambah kesan sejuk dan nyaman pemiliknya.

Selesai mendekorasi ruang tamu, mereka beralih ke ruang keluarga. Tidak banyak yang Irene lakukan untuk ruang keluarga. Dia hanya meletakkan TV LED berukuran 42 inch di atas lemari khusus. Menghampar karpet tebal berwarna coklat dan menambahkan tiga bantal duduk di atasnya. Kegiatan mendekorasi rumah selesai menjelang Isya'.

Irene yang kelelahan menghempaskan tubuh di atas ranjang. Ia hampir saja terlelap ketika merasakan guncangan kecil di bahu.

"Ren, mandi dulu. Terus makan." Irene mengerjap-ngerjapkan mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah sepasang mata tajam yang menatapnya sensual. Tetesan air membasahi rambut Ian. Jatuh mengalir melewati leher, dada bidang berbulu, dan berakhir di bawah perut yang tertutupi handuk.

Irene menelan ludah dengan susah payah. Matanya begitu fokus dengan apa yang tersembunyi di balik handuk. Sebuah benda yang nantinya akan berada di dalam tubuhnya...

"Ren, apa yang kamu lihat?" suara Ian memecah konsentrasi otak Irene yang sedang bertraveling.

***

Happy Reading 😚

NB : Maaf kalo hambar. Mungkin beberapa episode lagi, adegan yang ditunggu-tunggu akan datang 😅✌️

The Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang